Bagian I.
Di Wina Austria, Victor Emil
Frankl dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1905 dari keluarga Yahudi yang
sangat kuat memegang tradisi, nilai-nilai dan kepercayaan Yudaisme. Hal ini
berpengaruh kuat atas diri Frankl yang ditunjukkan oleh minat yang besar pada
persoalan spiritual, khususnya persoalan mengenai makna hidup. Di tengah
suasana yang religius itulah Frankl menjalani sebagian besar hidupnya.
Dalam bagian pertama buku “Man’s
Seach for Meaning” (Frankl, 1963), mengisahkan penderitaan Frankl selama
menjadi tawanan Yahudi di Auschwitz dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya.
Kehidupannya selama tiga tahun di kamp konsentrasi adalah kehidupan yang
mengerikan se cara kejam. Setiap hari, ia menyaksikan tindakan-tindakan kejam,
penyiksaan, penembakan, pembunuhan masal di kamar gas atau eksekusi dengan
aliran listrik. Pada saat yang sama, ia juga melihat peristiwa-peristiwa yang
sangat mengharukan; berkorban untuk rekan,kesabaran yang luar biasa, dan daya
hidup yang perkasa. Di samping para tahanan yang berputus asa yang mengeluh, “mengapa
semua ini terjadi pada kita? “, mengapa aku harus menanggung derita ini?”, ada
juga para tahanan yang berpikir “apa yang harus kulakukan dalam keadaan
seperti ini?”. Yang pertama umumnya berakhir dengan kematian, dan yang kedua
banyak yang lolos dari lubang jarum kematian.
Menurut Jalaluddin Rakhmat
(Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), hal yang membedakan
keduanya adalah pemberian makna. Pada manusia ada kebebasan yang tidak bisa
dihancurkan bahkan oleh pagar kawat berduri sekalipun. Itu adalah kebebasan
untuk memilih makna. Sambil mengambil pemikiran Freud tentang efek berbahaya
dari represi dan analisis mimpinya, Frankl menentang Freud ketika dia menganggap
dimensi spiritual manusia sebagai sublimasi insting hewani. Dengan landasan
fenomenologi, Frankl membantah dan menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak
hanya diakibatkan oleh proses psikis saja. Menurutnya, pemberian makna berada
di luar semua proses psikologis. Dia mengembangkan teknik psikoterapi yang
disebut dengan Logoterapi (berasal dari kata Yunani “Logos” yang
berarti “makna”).
Logoterapi memandang manusia
sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis,
spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan
ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada
gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan fisik dan psikilogis.
Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai
sumber kesehatan dan kebahagiaan(Jalaluddin Rahmat, 2004).
Frankl menyebut dimensi spiritual
sebagai “noos” yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti
keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-orientasi tujuan kita,
kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan
menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang fisik
psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali superego,
secara humor kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasa diri kita atau
kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi
diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan
yang kita yakini. Dalam dunia spiritual, kita tidak dipandu, kita adalah
pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar kita.
Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan
spiritual ini.
Bagian II.
Dalam hidup ini ada beberapa
ancaman sebagai penyebab “kecemasan eksistensial”, hal ini merupakan aspek
terpenting yang menentukan apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan,
adalah “pertama” kematian: kita semua adalah makhluk yang fana’,
kematian sewaktu-waktu akan datang menjemput kita. “Kedua”, takdir, garis
kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bias
diramalkan atau dikendalikan. */Ketiga/*, keharusan untuk membuat pilihan
mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga cara; a).
kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa informasi yang cukup,
b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung untuk mencari bimbingan dari
sumber transcendental yang lebih tinggi, c). menjatuhkan pilihan berarti
mengabaikan pilihan lainnya (Zainal Abidin, 2002).
Gambaran tentang adanya kecemasan
eksistensial ini dapat kita jumpai misalnya yang terjadi di kalangan mahasiswa,
tampak kecenderungannya untuk hidup demi kepuasan sesaat, penggunaan Narkotika,
hidup hura-hura, berpesta pora, pergaulan bebas, sampai seks bebas, kegairahan
yang besar terhadap unsur-unsur fisik (hedonisme) merupakan bukti adanya krisis
kebermaknaan hidup. Pemuasan pada kepuasan sementara hanya merupakan “penamba”
pada kekosongan dan kebosanan yang berakar dari ketiadaan makna? Untuk apa
mereka hidup?
Hilangnya makna, kehampaan
eksistensial yang lazim terjadi di zaman modern sekarang ini dalam buku “Man’s
seach for meaning” (Frankl, 1963) dijelaskan bahwa mereka tersebut tidak
sendirian menghadapi hidup yang tak bermakna, mereka pada dasarnya merupakan
bagian dari “invisible community” yang mengalami kehampaan serupa.
Frankl memberi pesan bahwa kita harus memiliki keberanian dan kesabaran. Yakni
keberanian untuk membiarkan masalah ini untuk sementara waktu tak terpecahkan,
dan kesabaran untuk tidak menyerah dan mengupayakan penyelesaian.
Inti ajaran Frankl adalah
pandangan bahwa menjalani hidup dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu.
Motivasi utama dari manusia adalah untuk menemukan tujuan itu, itulah makna
hidup. Pencarian makna yang kita lakukan merupakan fenomena kompleks yang
membutuhkan penggalian, dan untuk memahaminya kita harus “menjalaninya”.
Tentang “makna” menurut Zainal Abidin (2002), ada dua hal yang perlu
diperhatikan;
Pertama, makna tidak sama dengan
aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah suatu proses yang menjadikan kita
seperti adanya kita, dimana kita mengembangkan dan menyadari cetak biru (blue-print)
dari potensi dan bakat kita sendiri. Namun, meski seseorang sanggup sepenuhnya
mengembangkan potensinya, belum tentu ia telah memenuhi makan hidupnya. Makna
tidak terletak pada diri kita, melainkan terletak di dunia luar. Kita tidak
menciptakan makna, atau memilihnya, melainkan harus menemukannya. Dengan kata
lain, untuk dapat menemukan makna kita harus ke luar dari persembunyian dan
menyongsong tantangan di luar sana yang memang ditujukan kepada kita.
Tujuan/makna adalah sesuatu yang “transcendental”, sesuatu yang berada di
luar “pemiliknya” (Frankl, 1963). Maka ketika seseorang mencari bimbingan untuk
menjatuhkan pilihanya, tidak akan ia menjumpai kekosongan, tetapi ia menemukan
makna hidupnya pada sesuatu di luar atau di atas dirinya. Hidup tidaklah semata
mengarahkan diri pada realisasi diri ataupun sesuatu dalam diri kita, melainkan
mengarahkan diri pada makna yang harus kita penuhi. Dengan begitu “kefanaan” menjadi
kurang menakutkan. Maknalah yang memelihara hidup kita. “Melekatkan diri pada
sesuatu yang melebihi usia hidup memberi manusia suatu keabadian”
Keterasingan dari dunia, lantaran
cara hidup serba mekanis, menjadi berkurang ketika kita tahu bahwa kita berada
di dunia untuk suatu tanggung jawab yang mesti dipenuhi. Manusia mampu bertahan
hidup di gurun yang sangat tandus, jika gurun tersebut menawarkan suatu tugas
yang harus dipenuhi. Sebaliknya ada orang yang mati bunuh diri minum racun di
istana mewah karena tidak tahu untuk apa dia hidup.
Kedua, hidup setiap orang
memiliki makna yang unik, setiap orang memiliki peran unik yang harus dipenuhi
atau diperankan, suatu peran yang tak dapat digantikan oleh orang lain. Setiap
orang lahir ke dunia ini mewakili sesuatu yang baru, yang itu tidak ada
sebelumnya. Sesuatu yang original dan unik. Tugas setiap orang adalah untuk
memahami bahwa tidak pernah ada seorang pun serupa dirinya, karena jika memang
pernah ada seseorang yang serupa dengan dirinya, maka ia tidak diperlukan.
Setiap orang adalah sesuatu yang baru, dan harus memenuhi suatu tugas dan
panggilan mengapa ia diciptakan di dunia ini (Buber dalam Zainal Abidin, 2002).
Bagian III.
Menurut Jalaluddin Rakhmat
(Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), ada lima situasi ketika
makna membersit ke luar dan mengubah jalan hidup kita -menyusun kembali hidup
kita yang porak poranda-, yaitu:
1. Makna kita temukan ketika kita
menemukan diri kita (self discovery)
2. Makna muncul ketika kita
menentukan pilihan, hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam suatu
keadaan, ketika kita tidak dapat memilih
3. Makna dapat kita temukan
ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain
4. Makna membersit dalam tanggung
jawab
5. Makna mencuat dalam situasi
transendensi, gadungan dari keempat hal di atas, ketika mentransendensikan diri
kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita
merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita.
Transendensi adalah pengalaman
yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar dari pengalaman kita yang biasa,
ke luar dari suka dan duka kita, ke luar dari diri kita yang sekarang, ke
konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi adalah pengalaman spiritual.
Kita dihadapkan pada makna akhir “the ultimate meaning” yang
menyadarkan kita akan “aturan Agung” yang mengatur alam semesta. Kita
menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti
rancangan besar “grand design” yang ditampakkan kepada kita. Inilah
dimensi spiritual dari ajaran logoterapi Victor E. Frankl. Hanna Djumhana
Bastaman (1994), menyimpulkan tentang logoterapi berpandangan bahwa
manusia dengan kesadaran dirinya mampu melepaskan diri dari ancaman-ancaman
pengaruh lingkungan dan berbagai bentuk kecenderungan alami ke arah suatu
keadaan atau perkembangan tertentu dalam dirinya sendiri. Dengan logoterapi
kita dapat menemukan hasrat hidup bermakna “the will to meaning” sebagai
motif dasar manusia, yang berlawanan dengan hasrat hidup senang (the will to
pleasure dari Freud, dan hasrat hidup berkuasa the will to power-nya
Alfred Adler. Dalam pandangan logoterapi the will to pleasure merupakan
hasil (by product) dan the will to power merupakan sarana untuk
memenuhi the will to meaning.
Menurut ajaran logoterapi, bahwa
kehidupan ini mempunyai makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk
dalam penderitaaan sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama
dalam kehidupan ini, Manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna
hidup, yakni melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan
dihayati -termasuk cinta kasih-, atau dalam setiap sikap yang diambil terhadap
keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin terelakkan. Manusia dihadapkan dan
diorientasikan kembali kepada makna, tujuan dan kewajiban hidupnya. Kehidupan
tidak selalu memberikan kesenangan kepada kita, tetapi senantiasa menawarkan
makna yang harus kita jawab. Tujuan hidup buka nlah untuk mencapai keseimbangan
tanpa tegangan, melainkan sering dalam kondisi tegangan antara apa yang kita
hayati saat ini dengan prospek kita di masa depan. Logoterapi memperteguh daya
tahan psikis kita untuk menghadapi berbagai kerawanan hidup yang kita alami.
Dalam prakteknya logoterapi dapat mengatasi kasus fobia dengan menggunakan
teknik “paradoxical intention”, yaitu mengusahakan agar orang mengubah
sikap dari yang semula memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self detachment)
terhadap keluhan sendiri, kemudian memandangnya secara humoritas. Logoterapi
juga dapat diterapkan pada kasus-kasus frustasi eksistensial, kepapaan hidup,
kehampaan hidup, tujuannya adalah membantu kita untuk menyadari adanya daya
spiritual Yang terdapat pada setiap orang, agar terungkap nyata (actual) yang
semula biasanya ditekan (repressed), terhambat (frustasi) dan diingkari. Energi
spiritual tersebut perlu dibangkitkan agar tetap teguh menghadapi setiap
kemalangan dan derita.
Dalam kehidupan, mungkin hasrat
hidup bermakna sebagai motif utama tidak dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan
orang melihat, bahwa dalam kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang
sifatnya potensial, yang perlu disadari dan ditemukan, keadaan ini menimbulkan
semacamfrustasi yang disebut frustasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi
oleh penghayatan tanpa makna (meaningless). Gejala-gejalanya sering tidak
terungkapkan secara nyata, karena biasanya bersifat “latent” dan terselubung.
Perilaku yang biasanya merupakan selubung frustrasi eksistensial itu sering
tampak pada berbagai usaha kompensasi dan hasrat yang berlebihan untuk
berkuasa, atau bersenang-senang, mencari kenikmatan duniawiyah (materialisme).
Gejala ini biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan
uang, manic-bekerja (wokerholic), free sex, dan perilaku hedonisme
lainnya.
Frustrasi eksistensial akan
terungkap secara eksplisit dalam penghayatan kebosanan dan sifat apatis.
Kebosanan merupakan ketidakmampuan sesorang untuk membangkitkan minat,
sedangkan apatisme merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa (inisiatif).
frustrasi eksistensial adalah identik dengam kehampaan eksistensial, dan
merupakan salah satu factor yang dapat menjelmakan neurosis. Neurosis ini
dinamakan “neurosis noogenik”, karena karakteristiknya berlainan dengan
neurosis yang klinis konvensional. Neurosis noogenik tidak timbul
sebagai akibat adanya konflik antara id, ego, superego, bukan konflik
insingtif, bukan karena berbagai dorongan impuls, trauma psikologis, melainkan
timbul sebagai akibat konflik moral, antar nilai-nilai, hati nurani, dan
problem moral etis, dan sebagainya (Bastaman, 1995).
Kehampaan eksistensial pada
umumnya ditunjukkan dengan perilaku yang serba bosan dan apatis, perasaan tanpa
makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup, meragukan kehidupan.
Logoterapi membantu pribadi untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dan
menyadarkan akan tanggung jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani,
keluarga, masyarakat, maupun kepada Tuhan. Tugas seorang logoterapis dalam hal
ini adalah sekedar membuka cakrawala pandangan klien dan menjajaki nilai-niliai
yang memungkinkan dapat diketemukan makna hidup, yaitu nilai-nilai kritis,
kreatif, dan sikap bertuhan. Dengan demikian logoterapi mencoba untuk menjawab
dan menyelesaikan berbagai problem, krisis, dan keluhan manusia masa kini, yang
initinya adalah seputar hasrat untuk hidup secara bermakna.
Dalam prakteknya, logoterapis
membantu klien agar lebih sehat secara emosional, dan salah satu cara untuk
mencapainya adalah memperkenalkan filsafat hidup yang lebih sehat, yaitu
mengajak untuk menemukan makna hidupnya. Menemukan makna hidup merupakan sesuatu
yang kompleks. Pada banyak kasus, logoterapis hanya dapat mengajak klien untuk
mulai menemukannya. Logoterapis harus menghindar untuk memaksakan suatu makna
tertentu pada klien, melainkan mempertajam kepada klien akan makna hidupnya.
Mungkin cara yang lebih baik yang dapat dilakukan seorang logoterapis guna
membantu klien agar mengenali apa yang ingin ia lakukan dalam hidup adalah
memperdulikan dan menciptakan atmosfir yang bersahabat, sehingga klien bebas
menjelajahi keunikan dirinya tanpa merasa takut ditolak. Sebagimana setiap
orang yang sedang jatuh cinta pada umumnya mampu secara intuitif mengenali
makna unik apa yang terdapat dalam hidup orang yang dicintainya.
Bagian IV.
Banyak orang menyatakan bahwa
logoterapi Victor E. Frankl sangat dekat dengan ajaran agama (spiritual), atau
juga bisa merupakan “agama sekuler“. Bagi Frankl makna hidup adalah daya yang
membimbing eksistensi manusia, sebagaimana para Nabi membimbing umatnya. Frankl
menggabungkan wawasan dari agama-agama dan filsafat-filsafat lama, serta mengaplikasikannya
dalam kehidupan pribadinya selama tiga tahun yang kelam di kamp konsentrasi
Nazi yang dituangkan dalam suatu teori psikoterapi, ajaran tersebut dinamakan
dengan logoterapi.
sumber:
Abidin, Zainal, */”Analisis
Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri”/*, Refika Aditama, Bandung, 2002.
Baharuddin, */”Paradigma
Psikologi Islami: Studi tentang
Elemen Psikologi dari Al-Qur’an”/*, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Bastaman, Hanna Djumhana,
“Dimensi Spiritual dalam Teori Psikologi Kontemporer: Logoterapi Victor E.
Frankl”, dalam */Jurnal Ulumul Qur’an/*, Nomer 4 Vol. V. Tahun 1994. halm
14-21.
Bastaman, Hanna Djumhana,
*/”Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami”/*, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Frankl, V.E., */”Man’s Seach for
Meaning: An Introduction to Logotherapy”/*, Washington Square Press, New York,
1963.
Fromm, Erich, */”Psikologi dan
Agama”/*, trj. Oleh Chairul Fuad Yusuf dan Prasetya Utama, Atira, Jakarta,
1988.
Koeswara, E., */”Logoterapi:
Psikoterapi Victor Frankl”/*, Kanisius, Yogyakarta, 1992
Rakhmat, Jalaluddin, Pengantar
dalam Danah Zohar & Ian Marshall, */”SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual
dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan”/*, Mizan,
Bandung, 2002.
Rakhmat, Jalaluddin, */”Psikologi
Agama: Sebuah Pengantar”/*, Mizan Bandung, 2004. Sukanto, Mm, Dardiri Hasyim,
*/”Nafsiologi: Refleksi
Analisis tentang Diri dan Tingkah
Laku Manusia”/*, Risalah Gusti, Surabaya, 1995.
2 comments:
good article and provide a lot of information
yang sedang jatuh cinta pada umumnya mampu secara intuitif mengenali makna unik apa yang terdapat dalam hidup orang yang dicintainya? Tel U
Post a Comment