Monday, April 29, 2013

Rational Emotive Therapy


Pengertian Rational Emotive Therapy (RET),yakni corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berpikir dan akal sehat(rational thinking), berperasaan(emoting), dan berperilaku(acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku. Maka, orang yang mengalami gangguan dalam alam perasaannya, harus dibantu untuk meninjau kembali caranya berpikir dan memanfaatkan akal sehat.

Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Alberl Ellis, seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian. Teori ini dikembangkanya ketika ia dalam praktek terapi mendapatkan bahwa sistem psikoanalisis ini mempunyai kelemahan-kelemahan secara teoritis (Ellis, 1974).

Teori Rasional Emotif ini merupakan sintesis baru dari Behavior Therapy yang klasik (termasuk Skinnerian Reinforcement dan Wolpein Systematic Desensitization). Oleh karena itu Ellis menyebut terapi ini sebagai Cognitive Behavior Therapy atau Comprehensive Therapy.
Konsep ini merupakan sebuah aliran baru dari Psikoterapi Humanistik yang berakar pada filsafat eksistensialisme yang dipelopori oleh Kierkegaard, Nietzsche, Buber, Heidegger, Jaspers dan Marleu Ponty, yang kemudian dilanjutkan dalam bentuk eksistensialisme terapan dalam Psikologi dan Psikoterapi, yang lebih dikenal sebagai Psikologi Humanistik.


Konsep-Konsep Dasar Rational Emotive Therapy
Rational Emotive Therapy adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.

Tujuan Rational Emotive Therapy
1. Memperbaiki dan mengubah segala perilaku yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.
2.  Menghilangkan gangguan emosional yang merusak
3. Untuk membangun Self Interest, Self Direction, Tolerance, Acceptance of Uncertainty, Fleksibel, Commitment, Scientific Thinking, Risk Taking, dan Self Acceptance Klien.
4. Menunjukkan dan menyadarkan klien bahwa cara pikir yang tidak logis itulah penyebab gangguan emosionalnya.
Teori A-B-C tentang Kepibadian
A. Adalah activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu
B.  Adalah beliefs, yaitu keyakinan-keyakinan
C.  Adalah consequence, yaitu konsekuensi-konsekuensi
Teknik-Teknik Kognitif
a. Teknik Pengajaran
b. Teknik Persuasif.
c.  Teknik Konfrontasi
d.  Teknik Pemberian Tugas
Teknik-Teknik Emotif
a. Teknik Sosiodrama
b. Teknik 'Self Modelling'
c. Teknik 'Assertive Training'
Teknik-Teknik Behavioristik
a. Teknik Reinforcement
b. Teknik Social Modelling
Kebaikan dan Kelemahan Rational Emotive Therapy
Kebaikan
1) Pendekatan ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan itu perawatan juga dapat dilakukan dengan cepat.
2) Kaedah pemikiran logik yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi gejala yang lain.
3) Klien merasakan diri mereka mempunyai keupayaan intelektual dan kemajuan dari cara berfikir.
Kelemahan
1) Ada klien yang boleh ditolong melalui analisa logik dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu sulit otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika.
2) Ada setengah klien yang begitu terpisah dari realita sehingga usaha untuk membawanya ke alam nyata sukar sekali dicapai.
3) Ada juga klien yang terlalu berprasangka terhadap logik, sehingga sukar untuk mereka menerima analisa logik.

Langkah-Langkah Rational Emotive Therapy (RET)
1) Langkah pertama
    Konselor berusaha menunjukkan bahwa cara berfikir klien harus logis kemudian membantu bagaimana dan mengapa klien sampai pada cara seperti itu, menunjukkan pola hubungan antara pikiran logis dan perasaan yang tidak bahagia atau dengan gangguan emosi yang di alami nya.
2) Langkah kedua
     Menunjukkan kepada klien bahwa jika ia  mempertahankan perilakunya maka ia akan terganggu dengan cara berpikirnya yang tidak logis inilah yang menyebabkan masih adanya gangguan sebagaimana yang di rasakan.
3) Langkah ketiga
      Bertujuan mengubah cara berfikir klien dengan membuang cara berfikir yang tidak logis
4) Langkah keempat
     Dalam hal ini konselor menugaskan klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata.


sumber:
Corey Gerald, Teori dan Paktek Konseling & Psikoterapi, PT Refika Aditama : Bandung, 2007
Drs. Abdul hayat, M.Pd, Teori dan Teknik Pendekatan Konseling, Banjarmasin, lanting media aksara:2010
Drs. Dewa ketut Sukardi, Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta:PT Aneka Cipta,1990
Prof.Dr.Sofyan S Willis, Konseling Individual Teori dan Praktek, Bandung, Alfabeta: 2007
Singgah D. Gunarsah, konseling dan psikoterapi, Jakarta :Gunung Mulia, 2000
Sukardi Dewa Ketut. Pengantar Teori Konseling, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1985
W.S.Winkel, dan M.M.Sri Hastuti, Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta,Media Abadi:2006

Monday, April 22, 2013

Analisis Transaktional


1. Pengertian Analisis TransaksionalDalam buku Transactional Analysis in Psychotherapy, Berne (1961) mendefinisikan analisis transaksional sebagai sistematika analisis struktur transaksi, mencakup aspek-aspek kepribadian dan dinamika sosial yang disusun berdasar pengalaman klinis serta merupakan bentuk terapi rasional yang mudah dipahami, dan mampu menyesuaikan dengan latar budaya klien. Analisis transaksional adalah metode yang menyelidiki peristiwa dalam interaksi orang per-orang, cara mereka memberikan umpan balik serta pola permainan status ego masing-masing. Metode ini kemudian dikenal sebagai salah satu teknik psikoterapi yang dapat digunakan dalam pelatihan individual, tetapi lebih cocok digunakan secara berkelompok (Corey, 2005). Analisis transaksional menurut pandangan Stewart (1996) berbeda dengan sebagian besar model terapi lain karena merupakan bentuk terapi berdasarkan kontraktual dan desisional. Analisis transaksional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien, yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses pelatihan. Analisis transaksional juga berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien dan menekankan pada aspek-aspek kognitif rasional-behavioral serta berorientasi pada peningkatan kesadaran, sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru untuk mengubah cara hidupnya (Spanceley, 2009). Sementara menurut pandangan Spanceley (2009), metode analisis transaksional sebagai bentuk penanganan masalah-masalah psikologis yang didasarkan atas hubungan antara klien dan terapis demi mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan diri. Kesejahteraan diri dimaksud meliputi : terbebas dari keadaan tertekan, gangguan alam perasaan, kecemasan, berbagai gangguan perilaku khas serta masalah-masalah ketika membangun hubungan dengan orang lain. Dari berbagai definisi dapat disimpulkan bahwa analisis transaksional merupakan model analisis struktur dan fungsi status ego seseorang yang mempengaruhi dirinya dalam membangun transaksi dan interaksi dengan lingkungan dimana seseorang berada. 2. Dasar Filosofi dan Tujuan Analisis TransaksionalAnalisis transaksional (AT) berakar pada sebuah filsafat antideterministik bahwa manusia sanggup melampaui pengondisian dan pemograman awal. Disamping itu, analisis transaksional berpijak pada asumsi-asumsi bahwa setiap orang sanggup memahami putusan-putusan masa lampaunya dan bahwa mereka pun mampu memilih untuk kemudian memutuskan kembali setiap keputusan yang telah dibuat sebelumnya (Covey, 2005). Dengan demikian analisis transaksional meletakkan kepercayaan pada kesadaran dan kesanggupan individu.Sebagai pendiri dan pengembang AT, Berne (Spanceley, 2009) memiliki pandangan optimis tentang hakikat individu, yaitu: a. Individu adalah makhluk yang mempunyai kemampuan untuk hidup sendiri. Individu memiliki potensi untuk mengelola dirinya, termasuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga menjadi pribadi yang otonom dan mandiri, terlepas dari ketergantungan terhadap orang lain. b. Individu adalah makhluk yang memiliki potensi untuk membuat keputusan. Individu mempunyai kemampuan untuk membuat rencana-rencana kehidupan, kemudian memilih dan memutuskan rencana-rencana terbaik bagi dirinya. Rencana-rencana yang telah dibuatnya itu terus dinilai sesuai dengan irama perkembangan hidupnya, sehingga ia dapat memutuskan rencana yang lebih baik lagi bagi kehidupan selanjutnya. c. Individu adalah makhluk yang bertanggung jawab. Individu bukan hanya mampu hidup mandiri dan membuat keputusan untuk dirinya, namun ia juga mampu bertanggung jawab atas pilihan dan putusan yang diambilnya serta konsekuensi yang akan ditimbulkannya. Pandangan ini sangat mempengaruhi usaha-usaha bantuan terapi terhadap klien. Dalam hal hubungan terapis dan klien, maka ciri hubungan idealnya adalah transaksi sejajar (compliment) dalam proses terapi dan keduanya harus sama-sama berbagi tanggung jawab dalam penetapan dan pencapaian tujuan terapi.Berne (1961) kemudian menjadikan argumentasi mengenai hakekat individu tersebut sebagai indikator menunjuk pada istilah OK bagi setiap individu. Oleh sebab itu hubungan diantara individu harus mencapai keadaan OK dengan jalan masing-masing harus mengakui prinsip dasar hakekat individu. Secara garis besar tujuan analisis transaksional dapat dijelaskan (Steiner, 2005) sebagai berikut : a. Mencapai otonomi diri termasuk menggunakan setiap unsur status ego secara sadar dan memadai. b. Membuat setiap individu menjadi akrab dengan metode analisis transaksional. Artinya bahwa pada saatnya akan terjadi pertukaran dalam bentuk transaksi, interaksi dan komunikasi yang sesuai tanpa mengganggu transaksi ciri status ego secara tumpang-tindih dan berlangsung secara spontan (menjadi kebiasaan).Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dasar filosofi AT adalah bahwa manusia merupakan mahluk yang bebas, bertanggungjawab, mandiri dan sanggup melampaui keputusan awal dengan keputusan baru untuk menyongsong perubahan yang lebih baik. Oleh sebab itu konsep AT menggunakan dasar filosofi ini untuk mendudukan kembali fungsi-fungsi manusia sebenarnya melalui bentuk-bentuk transaksi yang seimbang, positif dan OK. 3. Pengertian Beberapa Konsep Utama Analisis TransaksionalKonsep utama merupakan unsur-unsur penting yang melengkapi model analisis transaksional secara keseluruhan. Adapun konsep utama tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :a. Status EgoMenurut Berne (1961) setiap gambaran tingkahlaku yang diperlihatkan individu sebagai manifestasi dari proses psikologis dalam dirinya terbentuk atas proses hasil timbal-balik setelah individu menafsir dan mengolah setiap informasi yang diterima dari dunia di luar dirinya diistilahkan sebagai status Ego atau Ego State.Berne (1961) mula-mula mengategorikan secara garis besar unsur-unsur yang dapat ditemukan dalam kepribadian manusia menjadi tiga jenis status Ego, yaitu, eksteropsikis (“ekstero” berarti “dari luar”), arkeopsikis (“arkeo” berarti “dari dulu”), dan neopsikis (“neo” berarti “dari masa kini”). Eksteropsikis adalah pengaruh psikis dan pengalaman dalam diri seseorang yang didapatkan dari mereka yang pernah membesarkan seseorang sebagai anak kecil, yaitu orangtua dan orang dewasa yang berada di dalam sebuah keluarga. Arkeopsikis adalah pengaruh psikis yang didapatkan dari sisa-sisa pengalaman mereka sebagai seorang anak kecil. Akhirnya, yang dimaksud dengan neopsikis adalah pengalaman baru di dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai orang dewasa yang berpikiran rasional. Setiap individu pasti mendapatkan beberapa pengaruh tersebut dalam ciri kepribadiannya.Istilah-istilah ini dinilai Berne terlalu sulit untuk dimengerti oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, Berne memakai istilah yang lebih mudah untuk dimengerti yaitu pengaruh eksteropsikis disebutnya dengan istilah status Ego Parent atau status Ego Orangtua, arkeopsikis diganti dengan status Ego Child atau status Ego Anak, dan neopsikis dinamai status Ego Adult atau status Ego Dewasa. status Ego yang menjadi karakter seseorang ketika dia melakukan transaksi dengan yang lainnya dapat diketahui dari caranya dalam berkomunikasi, seperti pada kalimat yang diungkapkannya dan bagaimana cara dia berbicara.Istilah status Ego berbeda dari istilah status Ego menurut pandangan Sigmund Freud (Boeree, 2006), yaitu id, ego dan super-ego. Karena bukan merupakan construct sebagaimana ciri status Ego Freud, maka bagian status Ego Berne adalah yang dapat diamati dengan indera dan merupakan bagian dari kenyataan fenomenologis (Harris, 1992).1) Klasifikasi Status EgoStatus ego terbentuk dalam diri seseorang melalui pengalaman-pengalaman membekas dalam diri yang terbawa sejak masa kecilnya. Pengalaman tersebut meliputi pendapat, pandangan, sikap, hasil mencontoh perilaku Orangtua – para tokoh atau orang penting, yang mempengaruhi kehidupannya.Ketiga status Ego ini akan menjadi bagian yang digunakan setiap orang dalam berinteraksi dengan orang lain. Dalam pandangan Harris (1992), proses tersebut muncul karena adanya pemutaran berulang setiap data kejadian baik menyangkut orang, waktu, keputusan, atau perasaan yang nyata pada waktu-waktu lalu yang hingga kini masih tersimpan. Setiap inisial status ego yang ditulis dengan huruf kapital (P-A-C), dimaksudkan untuk menunjuk pada status ego tidak aktif atau untuk menjelaskan ketiga status ego secara statis. Sebaliknya inisial status ego yang ditulis dengan huruf p-a-c, menunjuk bahwa yang dimaksud adalah status ego aktif.a) Status ego Orangtua (Parent)Jika individu merasa dan bertingkah laku sebagaimana Orangtuanya dahulu, maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut dalam keadaan status ego Orangtua. Status ego Orangtua merupakan suatu kumpulan perasaan, sikap, pola-pola tingkah laku yang mirip dengan bagaimana Orangtua individu merasa dan bertingkah laku terhadap dirinya. Ada dua bentuk sikap Orangtua, yaitu: (1) Orangtua Pengritik (Critical Parent). Status ego Orangtua Pengritik secara keseluruhan adalah ekspresi pikiran dan perasaan seseorang dari sifat menghakimi. Orang yang memiliki status ego Orangtua Pengritik cenderung menyampaikan pesan larangan dan penilaian ketika menyampaikan pesan atau sesuatu kepada orang lain (Graham, 2009). Ungkapan-ungkapan dari status ego Orangtua Pengritik lebih bersifat pendapat atau opini mengenai sesuatu dan cenderung mengkritik atau menilai tanpa menerima alasan atau pembelaan dari lawan bicaranya, termasuk menolak memberikan solusi pemecahan masalahnya. Contoh: “Kamu bodoh, menyetrika baju saja kamu tidak bisa.” (2) Status Ego Orangtua Pembimbing (Nurtural Parent). Berbeda dengan status ego Orangtua Pengritik, status ego Orangtua Pembimbing cenderung berisi ungkapan pengertian dan kasih sayang. Sifat utamanya adalah layaknya orangtua yang baik, di antaranya adalah mengajarkan, mendukung, memberi bimbingan dan bahkan menentukan peraturan pada orang lain (Graham, 2009). Ekspresi wajah yang ditampilkan oleh orang dengan status ego Orangtua Pembimbing lebih terlihat tenang dan intonasi suara lembut. Contoh dari ungkapan status ego ini adalah: “Saya akan mengajari anda cara membuat laporan dengan benar, setelah itu silahkan anda mencoba untuk buat sendiri laporannya. Saya yakin Anda pasti bisa.”b) Status Ego Dewasa (Adult)Jika individu bertingkah laku secara rasional, melakukan testing realita, maka individu tersebut dikatakan berada dalam status ego Dewasa. status ego Dewasa dapat dilihat dari tingkah laku yang bertanggung jawab, tindakan yang rasional dan mandiri. Sifat status ego Dewasa adalah obyektif, penuh perhitungan dan menggunakan akal.c) Status ego Anak (Child)Status ego Anak berisi perasaan, tingkah laku dan bagaimana berpikir ketika masih kanak-kanak dan berkembang bersama dengan pengalaman semasa kanak-kanak. Jika individu melakukan, berperasaan, bersikap seperti yang dilakukan pada masa kanak-kanak, maka individu tersebut dalam kaadaan status ego Anak. status ego Anak dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu: (1) Status Ego Anak yang menyesuaikan (Adapted Child) Anak menyesuaikan diwujudkan dengan tingkah laku yang dipengaruhi oleh orangtuanya. Hal ini dapat menyebabkan anak bertindak sesuai dengan keinginan Orangtuanya seperti penurut, sopan dan patuh, sebagai akibatnya, anak akan menarik diri, takut, manja dan kemungkinan mengalami konflik. (2) Status Ego Anak yang Bebas (Free Child) Anak yang wajar akan terlihat dalam tingkah lakunya seperti lucu, tergantung, menuntut, egois, agresif, kritis, spontan, tidak mau kalah dan pemberontak.2) Diagnosis status EgoAda empat cara untuk menentukan status ego sebagaimana dikemukakan oleh Berne (1961), yaitu : diagnosis perilaku, diagnosis sosial, diagnosis historis, dan diagnosis fenomenologi. Namun penekanannya lebih diarahkan pada diagnosis perilaku. a) Diagnosis perilaku, yaitu menilai ciri-ciri status ego melalui kata-kata, intonasi suara, tempo bicara, ekspresi, postur, gerakan badan, pernafasan dan gerakan otot dapat menjadi tanda dalam mendiagnosis status ego. b) Diagnosis sosial, yaitu mengamati ciri status ego seseorang melalui bentuk interaksi yang dilakukan terhadap orang lain. c) Diagnosis historis. Latar belakang dan gambaran masa lalu seseorang merupakan target pendiagnosis ini. Jika seseorang berpikir, merasa dan bertindak didominasi oleh status ego tertentu dan apa yang dimunculkan ternyata memiliki kesesuaian dengan kehidupan di masa lalu maka jelas bahwa secara historis wujud status ego telah terpenuhi. d) Diagnosis fenomenologis. Teknik diagnosis ini muncul ketika pengalaman masa silam menjadi bagian dari ingatan seseorang. Artinya diagnosis ini memfokuskan pada kemampuan uji-diri (self-examination). Kadang seseorang mampu secara akurat memastikan bahwa yang aktif dalam dirinya adalah status ego Anak, namun kadang juga sebaliknya bahwa yang semula status ego Anak ternyata status ego Dewasa. 3) Pencemaran dan Eksklusi Status EgoPencemaran atau kontaminasi status ego merupakan suatu situasi dimana batas antara status ego yang satu dengan status ego lainnya lemah, sehingga status ego tertentu mengalami pencemaran atau terpengaruh oleh status ego yang lain (Berne, 1961). Kontaminasi dapat terjadi pada status ego Orangtua ke Dewasa dan dari status ego Anak ke Dewasa. Kontaminasi juga dapat terjadi secara ganda, yaitu jika status ego Orangtua dan Anak mencemari status Ego Dewasa secara bersamaan.Keadaan eksklusi (exclusive) terjadi jika seseorang tanpa sadar sering memperagakan penggunaan salah satu status ego dalam waktu lama atau menetap, sehingga kurang memberi kesempatan kepada status ego lainnya untuk berekspresi (Berne, 1961; de Blot, 2002). Sebagai contoh misalnya, penggunaan status ego Orangtua sehingga individu sering terlihat selalu menunjukkan perilaku menasehati, marah, membatasi, menunjukkan kewibawaan berlebihan, dan menghardik. Penggunaan status ego Dewasa secara tepat dapat mengarahkan individu untuk mempertimbangkan situasi yang sesuai menunjukkan kewibawaan, menasehati, marah, membatasi ataupun menghardik. Demikian halnya bila disadari, penggunaan status ego Anak akan membantunya untuk tidak selalu dengan ciri status ego Orangtua tetapi dapat menunjukkan perilaku bergurau, humor, atau dengan cara bermohon (de Blot, 2002). Individu dikatakan memiliki ciri kepribadian yang baik jika status Ego dewasa dapat menjadi pengendali dari ketiga status ego secara efektif dan sehat (Boholst, 2002). 4) EgogramEgogram merupakan sejenis peraga untuk merekam sejauhmana fungsi status ego aktif yang tergambar melalui perilaku seseorang. Dussay (1984) menggambarkan rekaman setiap status ego seseorang menjadi semacam grafik yang dibuat secara intuitif. Egogram ini terdiri dari sebuah garis kolom dibagi lima untuk masing-masing fungsi status ego. Gambar 2 memperlihatkan egogram yang terdiri dari lima kotak sesuai status ego individu, sehingga hasil imajinasi seseorang terhadap status ego pribadinya akan menunjukkan kolom status ego mana yang menonjol terhadap kolom status ego lainnya.
Tiap-tiap kolom status ego akan bertambah naik bila secara intuitif seseorang merasakan bahwa status ego tersebut semakin bertambah kuat dalam dirinya. Analisis transaksional dalam penerapannya berupaya membangun pengetahuan setiap individu untuk mengenal saat mana pikiran, perasaan dan tingkahlaku mereka menggambarkan status ego tertentu, disamping memberikan kesadaran mengenai apakah ada status ego tertentu yang mendominasi atau yang perlu dioptimalkan. b. Strokes Sebuah premis dasar dari pendekatan analisis transaksional adalah bahwa manusia membutuhkan pengakuan baik secara fisik maupun psikologis untuk mengembangkan rasa percaya diri dan sebagai dasar untuk mencintai diri sendiri serta orang lain. Ada banyak bukti bahwa kurangnya kontak fisik dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bayi, dan dalam kasus ekstrim dapat menyebabkan kematian (Berne, 1961; Corey, 2005; Joines, 2005). Individu dalam tumbuh kembangnya membutuhkan pengakuan dan perhatian, ini disebut sebagai Stroke. Stroke adalah setiap tindakan pengakuan atau yang menjadi sumber rangsangan yang diberikan atau ditawarkan seseorang kepada orang lain. Jenis-jenis Stroke dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Verbal atau nonverbal, jenis Stroke ini menggambarkan adanya pertukaran perhatian dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk gerakan. Macam-macam bentuk perhatian verbal misalnya : ungkapan memuji, melecehkan, menghargai, ataupun mengkritik; bentuk perhatian non-verbal misalnya: berjabat tangan, pelukan, sentuhan, kedipan mata ataupun ekspresi senyuman atau cara berpenampilan. Kadang-kadang sulit membedakan antara Stroke verbal dan non-verbal. 2) Tanpa syarat atau bersyarat. Contoh Stroke bersyarat seperti : "Aku menyukai dirimu asalkan..." sedangkan Stroke tanpa syarat: "Aku mencintaimu karena aku sayang kamu." 3) Stroke positif atau negatif. Sebuah bentuk perhatian yang menyenangkan yang diberikan atau diterima seseorang seperti : sentuhan fisik, kata-kata menerima, penghargaan, senyum, dan keramahan disebut stroke positif. Sebaliknya bila yang diterima menyakitkan seperti: diabaikan, dikritik ataupun dilecehkan maka disebut stroke negatif. Menariknya stroke negatif dianggap lebih baik daripada tidak mendapatkan stroke sama sekali (Covey, 2005). c. Analisis Transaksi Setiap apa yang dipertukarkan atau diekspresikan oleh masing-masing individu dalam berinteraksi disebut Transaksi (Berne, 1961; Stewart, 1996; Covey, 2005; Joines, 2005). Transaksi dapat terjadi secara verbal (transaksi sosial) dan non-verbal (transaksi psikologik) yang terjadi dalam transaksi terselubung. Terdapat tiga bentuk transaksi dalam kaitannya dengan interaksi yang terjadi antara dua individu (Berne, 1961), yaitu : transaksi sejajar (saling mengisi), transaksi silang dan transaksi terselubung. 1) Transaksi sejajar (Complimenter Transaction). Transaksi ini dapat terjadi jika diantara stimulus dan respon mengalami kesesuaian atau kecocokan, tepat dan memang diharapkan, sehingga transaksi ini akan berjalan lancar. Misalnya, pembicaraan antara dua individu yang sama-sama menggunakan status ego Orangtua, Dewasa atau Anak. Misalnya: “Wah, sekarang untuk masuk sekolah sulitnya bukan main?” (Parent ke Parent). “Betul, saya kemarin beli formulirnya saja sudah susah!” (Parent ke Parent). “Apakah laporan itu telah selesai dibuat?” (Adult ke Adult). “Ya, nanti akan saya kirimkan ke anda lewat email.” (Adult ke Adult). “Maukah kamu kesini nonton film bersamaku?” (Child ke Child). “Pasti mau – apakah aku harus kesana sekarang?” (Child ke Child) 2) Transaksi silang (Crossed Transaction). Transaksi ini terjadi jika diantara stimulus dan respon tidak cocok atau berlangsung tidak sebagaimana yang diharapkan oleh salah satu pihak atau bahkan keduanya. Biasanya komunikasi semacam ini akan cenderung terganggu atau tidak OK. Misalnya : “Waduh, badanku kok terasa nggak enak ya?” (Adult ke adult). “Makanya jangan ambisius dan ngoyo cari uang!” (Parent ke Child). 3) Transaksi tersembunyi (Ulteration Transaction). Transaksi ini terjadi jika antara dua status ego beroperasi bersama-sama, meliputi transaksi Dewasa diarahkan ke Dewasa, akan tetapi melalui pesan tersembunyi dari yang sebenarnya; misalnya Dewasa ke Anak, atau Orangtua ke Anak. Misalnya : “Aduh bu, anak saya yang di TK sekarang ngambek!” (Parent ke Parent). “Biasa, namanya saja anak yang gede sering malas.” (Adult ke Child) Bentuk-bentuk transaksi tersebut akan menjadi pilihan setiap individu dalam mengadakan interaksi-komunikasi dengan individu lain dan konsekuensi dari bentuk-bentuk transaksi akan tergambar seperti (Berne, 1961): (1) jika model transaksi yang digunakan lebih banyak bersifat complementer, maka akan sering timbul masalah, yaitu kebosanan; (2) jika individu dalam berkomunikasi lebih banyak menggunakan transaksi silang, maka akan cenderung timbul perasaan tidak senang karena respon yang didapat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Akan tetapi transaksi ini dapat digunakan untuk mengalihkan atau menghentikan pembicaraan yang tidak bermutu atau yang bertele-tele; (3) interaksi terselubung jauh lebih rumit jika digunakan, karena menggunakan lebih dari satu bentuk status ego. Ciri lainnya dalam interaksi ini adalah sering menggunakan bahasa tersirat (ironi) dan biasanya menggunakan transaksi non-verbal, misalnya gerakan badan, ekspresi wajah dan sikap. d. Keputusan (Decision) dan Keputusan Ulang (Redecisions) Analisis transaksional menekankan kemampuan individu untuk menyadari keputusan yang mengatur perilakunya dan kemampuan untuk mengambil inisiatif mengubah kembali arah hidupnya menjadi lebih efektif melalui keputusan baru. Uraian ini membahas keputusan yang dibuat sebagai respons terhadap perintah Orangtua dan kontra-perintah yang merupakan penjelasan awal dari proses redecisional. Goulding (Covey, 2005) menyusun daftar perintah umum yang sering dilakukan para Orangtua terhadap anak-anak mereka dengan kemungkinan penyusunan keputusan kembali sebagai bentuk tanggapan anak terhadap orangtua. 1) “Jangan melakukan kesalahan.” Anak-anak yang mendengar dan menerima pesan ini sering takut mengambil risiko yang dapat membuat mereka terlihat bodoh. Mereka cenderung menyamakan kesalahan dengan kegagalan. Kemungkinan keputusan: “Daripada membuat keputusan tetapi salah, lebih baik jangan pernah memutuskan sesuatu.” Anak akan cenderung memilih untuk berpikir, bahwa membuat keputusan adalah bodoh karena tetap saja salah dan tidak pernah akan dinilai sempurna. Dengan tidak membuat keputusan, maka masih terdapat kesempatan untuk menjadi sempurna karena tidak melakukan kesalahan. 2) “Jangan!” Pesan mematikan ini sering diberikan dalam bentuk non-verbal oleh orangtua secara terus menerus kepada anaknya. Pesan dasar "Aku berharap kau tidak dilahirkan." Kemungkinan keputusan: "Aku akan terus mencoba sampai aku mendapatkan kau mencintaiku." 3) “Jangan menjadi akrab.” Terkait dengan perintah ini adalah pesan "Jangan percaya" dan "Jangan pernah menyintai." Kemungkinan keputusan: "Cukup sekali aku dicintai, begitu menyakitkan dan aku berjanji untuk tidak lagi mengenal perasaan dan kata cinta.” "Pedih bila membayangkan untuk dekat lagi dengan seseorang, biarkan aku sendiri untuk selamanya,” 4) “Jangan merasa penting.” Jika ungkapan atau pembicaraan seorang anak diabaikan atau tidak pernah diperhatikan, akan menumbuhkan perasaan bahwa apa yang dimilikinya tidak pernah akan dianggap penting dan berguna bagi orang lain. Kemungkinan keputusan: "Apapun prestasi yang aku lakukan itu tidak penting.” “Keberhasilan yang aku lakukan ini, itu hanyalah kebetulan saja.” 5) “Jangan seperti anak-anak.” Pesan ini bermaksud menyampaikan: "Selalu bertindak dewasa!" "Jangan kekanak-kanakan." "Tetaplah kontrol diri." Kemungkinan keputusan: "Aku akan mengurus orang lain dan tidak akan berharap banyak dari diriku sendiri." "Aku tidak akan membiarkan diriku bersenang-senang. 6) Jangan berkembang. Pesan ini disampaikan berdasarkan ketakutan yang dirasakan orangtua dan tidak ingin anaknya tumbuh dewasa dengan cara lain yang tidak diinginkannya. Kemungkinan keputusan: "Aku akan tetap mempertahankan ciri selaku seorang anak, dengan begitu aku akan tetap mendapatkan belaian dan persetujuan Orangtua." 7) “Jangan berhasil.” Jika anak-anak secara positif diperkuat untuk gagal, mereka dapat menerima pesan bukan untuk mencari kesuksesan. Kemungkinan keputusan: "Aku tidak akan pernah melakukan apa pun yang cukup sempurna, jadi kenapa harus mencoba?". "Kalaupun aku tidak berhasil, aku masih tetap mendapatkan perhatian karena akan terus dibimbing dan diarahkan,” akibatnya akan berlanjut pada ketakutan untuk memutuskan sesuatu karena takut salah dan gagal serta tidak lagi akan diperhatikan oleh orang lain. 8) “Jangan menjadi dirimu.” Ini menyarankan untuk mengarahkan anak berpikir bahwa mereka tidak sebagaimana yang diharapkan. Ungkapan ini disampaikan orangtua karena alasan-alasan bahwa anak yang diimpikan berbeda dengan yang ada saat ini, baik berupa jenis kelamin, bentuk, ukuran, warna kulit, ciri-ciri inteligensi dan sebagainya. Kemungkinan keputusan: "Mereka akan mencintai aku hanya jika aku seorang anak laki-laki atau perempuan sesuai harapan mereka, sehingga tidak mungkin untuk mendapatkan cinta mereka." "Aku akan berpura-pura menjadi anak laki-laki atau perempuan agar sesuai dengan harapan mereka. 9) “Jangan waras atau Jangan terlihat sehat.” Sebagian anak-anak mendapat perhatian hanya ketika mereka secara fisik labil, sakit atau menunjukan perilaku yang tidak biasanya. Kemungkinan keputusan: "Aku akan sakit, atau berperilaku seperti tidak biasanya. Dengan begitu aku akan tetap mendapatkan kasih sayang orangtua." 10) “Jangan merasa memiliki.” Perintah ini dapat menunjukkan bahwa orangtua menganggap anak tidak punya hak untuk merasa memiliki. Kemungkinan keputusan: "Aku akan menjadi seorang penyendiri selamanya." "Aku tidak akan pernah punya tempat." Apa pun perintah yang pernah diterima dan menghasilkan keputusan hidup tetapi berakibat tidak efektif dengan kenyataan hidup yang dialami, dalam pandangan analisis transaksional harus di rubah dan diputuskan kembali. Inilah dasar redecisional atau mengubah setiap keputusan yang pernah dibuat. Klien didorong untuk mempelajari kembali apa yang telah dipelajarinya ketika masa kanak-kanak dahulu. e. Posisi Hidup (Life Position) dan Latar Kehidupan (Life Scripts) Analisis transaksional menurut Berne (Boholst, 2002) terdiri dari empat dasar posisi kehidupan, yang semuanya didasarkan pada keputusan yang dibuat sebagai akibat dari pengalaman masa kanak-kanak, dan yang menentukan bagaimana orang-orang berpikir dan merasa mengenai diri mereka serta bagaimana mereka membangun hubungan dengan orang lain: 1) Aku OK - Kamu OK (I’m OK – Your OK) Posisi ini merefleksikan bahwa individu mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan percaya pada orang lain. Individu tidak merasa khawatir bila berhubungan dengan orang lain. 2) Aku OK – Kamu Tidak OK (I’m OK – You’re not OK) Posisi ini merefleksikan bahwa individu membutuhkan orang lain akan tetapi tidak ada yang dianggap cocok, individu merasa superior, merasa mempunyai hak untuk memanipulasi orang lain demi kepentingannya sendiri. 3) Aku tidak OK – Kamu OK (I’m not OK – You’re OK) Posisi ini merefleksikan bahwa individu merasa tidak terpenuhi kebutuhannya dan merasa bersalah. Posisi ini sering membuat seseorang mengalami keadaan depresif karena perasaan bersalah, inferior, tidakpercaya dengan kemampuan yang dimiliki hingga memunculkan ketakutan dan cemas. 4) Aku tidak OK – Kamu Tidak OK (I’m not OK – You’re not OK) Posisi ini merefleksikan bahwa dirinya merasa lemah tidak baik dan orang lain pun juga tidak baik, karena tidak ada sumber belaian atau perhatian yang positif, individu akan menyerah dan merasa tidak berdaya. Script dibentuk oleh aturan, arahan dan perintah yang diterima individu dimasa lalu yang dilakukan oleh orangtua atau figur orangtua individu. Unsur-unsur dalam script akan memberi pengaruh pada cara individu menghayati kehidupannya (Boholst, 2002). f. Games Serangkaian peristiwa transaksi dan Stroke yang bermasalah dan terjadi secara berulang namun tidak pernah disadari, maka akan berdampak buruk serta mempengaruhi kehidupan seseorang (Berne dalam Spanceley, 2007). Pengalaman-pengalaman inilah yang akan menjadi target game, dimana individu akan diarahkan untuk terlibat dalam sebuah drama menghayati perjalanan kehidupannya. Dengan kata lain, game merupakan sarana menyadarkan individu dari agenda-agenda tersembunyi yang selama ini membatasi kehidupannya. Sebuah game menurut Berne (1964) akan terdiri atas tiga posisi: 1) Penganiaya (Persecutor). Ciri-ciri seseorang dengan pola penganiaya adalah: terlalu ketat membatasi diri pada hal-hal yang tidak perlu, suka mengritik, sering mengecilkan kapasitas orang lain, selalu bersikap kaku, berpegang teguh pada kewibawaan diri, menyuruh dan marah, dan merupakan pola yang sering tergambar pada status ego orang tua pengkritik. 2) Penyelamat (Rescuer). Ciri-ciri seseorang dengan pola penyelamat adalah: suka membantu dan menolong sekalipun terpaksa, akan merasa bersalah jika tidak berusaha membantu dan menolong, cenderung bersifat tergantung pada orang lain, permissive, terlalu bersikap lembut, dan merupakan pola yang sering tergambar pada status ego orang tua pembimbing. 3) Korban (Victim). Ciri-ciri seseorang dengan pola korban adalah: merasa menjadi korban dalam setiap peristiwa, merasa tertindas, tak berdaya, putus asa, dan merasa sulit untuk terbebas dari setiap tekanan, ketegasan diri kurang, merasa tidak mampu membuat keputusan, kesulitan mencapai kesenangan subyektif dan pemahaman diri kurang, serta merasa sering ditolak. Game merupakan sarana menilai ciri kepribadian individu. Sarana ini kemudian akan membantu menyadari karakteristik yang mempengaruhinya ketika mengalami hambatan- hambatan psikologis. Hambatan-hambatan psikologi ini merupakan akumulasi dari pengalaman script, decisional serta kecenderungan secara kaku menggunakan status ego tertentu.


sunber:

Tuesday, April 16, 2013

Logoterapi (sebuah Pendekatan Eksistensialis)


Bagian I.
Di Wina Austria, Victor Emil Frankl dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1905 dari keluarga Yahudi yang sangat kuat memegang tradisi, nilai-nilai dan kepercayaan Yudaisme. Hal ini berpengaruh kuat atas diri Frankl yang ditunjukkan oleh minat yang besar pada persoalan spiritual, khususnya persoalan mengenai makna hidup. Di tengah suasana yang religius itulah Frankl menjalani sebagian besar hidupnya.
Dalam bagian pertama buku “Man’s Seach for Meaning” (Frankl, 1963), mengisahkan penderitaan Frankl selama menjadi tawanan Yahudi di Auschwitz dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya. Kehidupannya selama tiga tahun di kamp konsentrasi adalah kehidupan yang mengerikan se cara kejam. Setiap hari, ia menyaksikan tindakan-tindakan kejam, penyiksaan, penembakan, pembunuhan masal di kamar gas atau eksekusi dengan aliran listrik. Pada saat yang sama, ia juga melihat peristiwa-peristiwa yang sangat mengharukan; berkorban untuk rekan,kesabaran yang luar biasa, dan daya hidup yang perkasa. Di samping para tahanan yang berputus asa yang mengeluh, “mengapa semua ini terjadi pada kita? “, mengapa aku harus menanggung derita ini?”, ada juga para tahanan yang berpikir “apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti ini?”. Yang pertama umumnya berakhir dengan kematian, dan yang kedua banyak yang lolos dari lubang jarum kematian.
Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), hal yang membedakan keduanya adalah pemberian makna. Pada manusia ada kebebasan yang tidak bisa dihancurkan bahkan oleh pagar kawat berduri sekalipun. Itu adalah kebebasan untuk memilih makna. Sambil mengambil pemikiran Freud tentang efek berbahaya dari represi dan analisis mimpinya, Frankl menentang Freud ketika dia menganggap dimensi spiritual manusia sebagai sublimasi insting hewani. Dengan landasan fenomenologi, Frankl membantah dan menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya diakibatkan oleh proses psikis saja. Menurutnya, pemberian makna berada di luar semua proses psikologis. Dia mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut dengan Logoterapi (berasal dari kata Yunani “Logos” yang berarti “makna”).
Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis, spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan fisik dan psikilogis. Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan(Jalaluddin Rahmat, 2004).
Frankl menyebut dimensi spiritual sebagai “noos” yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-orientasi tujuan kita, kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang fisik psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali superego, secara humor kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasa diri kita atau kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang kita yakini. Dalam dunia spiritual, kita tidak dipandu, kita adalah pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar kita. Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan spiritual ini.

Bagian II.
 Peradaban Barat modern dengan revolusi industri yang membuat suatu syndrome kehampaan (emptyness) eksistensial dengan ditandai oleh kebosanan, kehampaan, ketiadaan tujuan, masyarakat mengalami dehumanisasi, yang tidak peduli terhadap apa yang akan dilakukan dalam hidup. Semuanya berasal dan datang dari kondisi masyarakat yang tidak menguntungkan. Revolusi industri menjadikan seorang pekerja mengabdi kepada kepentingan majikan, dan kehilangan semua hubungan dengan barang yang diproduksinya. Hilangnya hubungan pribadi (individualisme, permisifisme), tidak adanya pandangan bersama mengenai kehidupan yang lebih baik di masa depan, lebih mengutamakan suatu hal yang bersifat materi (Materialisme, kapitalisme, hedonisme), dan mengabaikan hal-hal yang spiritual. Erich Fromm (1988) menyatakan bahwa banyak orang merasa dirinya seperti komoditi yang diperjualbelikan dan pada saat berikutnya menjadi penjaja komoditi. Dunia Barat kontemporer telah menghasilkan manusia hampa yang mencari makna. Jika di masa lalu orang neurotik itu diibaratkan seperti orang patah kaki, maka dalam dunia modern, seorang neurotik umumnya adalah orang yang memiliki dua kaki sempurna tetapi tidak tahu ke mana kaki itu harus pergi melangkah???
Dalam hidup ini ada beberapa ancaman sebagai penyebab “kecemasan eksistensial”, hal ini merupakan aspek terpenting yang menentukan apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan, adalah “pertama” kematian: kita semua adalah makhluk yang fana’, kematian sewaktu-waktu akan datang menjemput kita. “Kedua”, takdir, garis kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bias diramalkan atau dikendalikan. */Ketiga/*, keharusan untuk membuat pilihan mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga cara; a). kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa informasi yang cukup, b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung untuk mencari bimbingan dari sumber transcendental yang lebih tinggi, c). menjatuhkan pilihan berarti mengabaikan pilihan lainnya (Zainal Abidin, 2002).
Gambaran tentang adanya kecemasan eksistensial ini dapat kita jumpai misalnya yang terjadi di kalangan mahasiswa, tampak kecenderungannya untuk hidup demi kepuasan sesaat, penggunaan Narkotika, hidup hura-hura, berpesta pora, pergaulan bebas, sampai seks bebas, kegairahan yang besar terhadap unsur-unsur fisik (hedonisme) merupakan bukti adanya krisis kebermaknaan hidup. Pemuasan pada kepuasan sementara hanya merupakan “penamba” pada kekosongan dan kebosanan yang berakar dari ketiadaan makna? Untuk apa mereka hidup?
Hilangnya makna, kehampaan eksistensial yang lazim terjadi di zaman modern sekarang ini dalam buku “Man’s seach for meaning” (Frankl, 1963) dijelaskan bahwa mereka tersebut tidak sendirian menghadapi hidup yang tak bermakna, mereka pada dasarnya merupakan bagian dari “invisible community” yang mengalami kehampaan serupa. Frankl memberi pesan bahwa kita harus memiliki keberanian dan kesabaran. Yakni keberanian untuk membiarkan masalah ini untuk sementara waktu tak terpecahkan, dan kesabaran untuk tidak menyerah dan mengupayakan penyelesaian.
Inti ajaran Frankl adalah pandangan bahwa menjalani hidup dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu. Motivasi utama dari manusia adalah untuk menemukan tujuan itu, itulah makna hidup. Pencarian makna yang kita lakukan merupakan fenomena kompleks yang membutuhkan penggalian, dan untuk memahaminya kita harus “menjalaninya”. Tentang “makna” menurut Zainal Abidin (2002), ada dua hal yang perlu diperhatikan;
Pertama, makna tidak sama dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah suatu proses yang menjadikan kita seperti adanya kita, dimana kita mengembangkan dan menyadari cetak biru (blue-print) dari potensi dan bakat kita sendiri. Namun, meski seseorang sanggup sepenuhnya mengembangkan potensinya, belum tentu ia telah memenuhi makan hidupnya. Makna tidak terletak pada diri kita, melainkan terletak di dunia luar. Kita tidak menciptakan makna, atau memilihnya, melainkan harus menemukannya. Dengan kata lain, untuk dapat menemukan makna kita harus ke luar dari persembunyian dan menyongsong tantangan di luar sana yang memang ditujukan kepada kita. Tujuan/makna adalah sesuatu yang “transcendental”, sesuatu yang berada di luar “pemiliknya” (Frankl, 1963). Maka ketika seseorang mencari bimbingan untuk menjatuhkan pilihanya, tidak akan ia menjumpai kekosongan, tetapi ia menemukan makna hidupnya pada sesuatu di luar atau di atas dirinya. Hidup tidaklah semata mengarahkan diri pada realisasi diri ataupun sesuatu dalam diri kita, melainkan mengarahkan diri pada makna yang harus kita penuhi. Dengan begitu “kefanaan” menjadi kurang menakutkan. Maknalah yang memelihara hidup kita. “Melekatkan diri pada sesuatu yang melebihi usia hidup memberi manusia suatu keabadian”
Keterasingan dari dunia, lantaran cara hidup serba mekanis, menjadi berkurang ketika kita tahu bahwa kita berada di dunia untuk suatu tanggung jawab yang mesti dipenuhi. Manusia mampu bertahan hidup di gurun yang sangat tandus, jika gurun tersebut menawarkan suatu tugas yang harus dipenuhi. Sebaliknya ada orang yang mati bunuh diri minum racun di istana mewah karena tidak tahu untuk apa dia hidup.
Kedua, hidup setiap orang memiliki makna yang unik, setiap orang memiliki peran unik yang harus dipenuhi atau diperankan, suatu peran yang tak dapat digantikan oleh orang lain. Setiap orang lahir ke dunia ini mewakili sesuatu yang baru, yang itu tidak ada sebelumnya. Sesuatu yang original dan unik. Tugas setiap orang adalah untuk memahami bahwa tidak pernah ada seorang pun serupa dirinya, karena jika memang pernah ada seseorang yang serupa dengan dirinya, maka ia tidak diperlukan. Setiap orang adalah sesuatu yang baru, dan harus memenuhi suatu tugas dan panggilan mengapa ia diciptakan di dunia ini (Buber dalam Zainal Abidin, 2002).

Bagian III.
 Pengembaraan dalam mencari eksistensi kita, dapat kita temukan ketika kita berupaya memahami makna hidup kita sendiri. Saat kita menyadari dalam hal apa kita adalah unik. Berbeda dari orang lain, tugas unik apa yang telah kita penuhi, yakni suatu tugas yang hanya dapat dipenuhi oleh seorang seperti “aku”, dan tidak ada seorang pun yang sama seperti aku. Penemuan makna memberi kita suatu pemahaman mengenai takdir, semua kegembiraan dan kesedihan tampak menjadi bagian yang sesuai dari keseluruhan riwayat hidup kita. Ibarat kepingan-kepingan /”keramik”/ yang membentuk sebuah “mozaik” perjalanan hidup kita. Setiap kepingan-kepingan tersebut pasti bermanfaat, tidak ada yang sia-sia. Setiap peristiwa adalah satu langkah yang mendekatkan kita untuk menjadi manusia sepenuhnya, yang memenuhi suatu “peran” yang memang “hanya” untuk kita.
Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah jalan hidup kita -menyusun kembali hidup kita yang porak poranda-, yaitu:
1. Makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (self discovery)
2. Makna muncul ketika kita menentukan pilihan, hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam suatu keadaan, ketika kita tidak dapat memilih
3. Makna dapat kita temukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain
4. Makna membersit dalam tanggung jawab
5. Makna mencuat dalam situasi transendensi, gadungan dari keempat hal di atas, ketika mentransendensikan diri kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita.
Transendensi adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar dari pengalaman kita yang biasa, ke luar dari suka dan duka kita, ke luar dari diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir “the ultimate meaning” yang menyadarkan kita akan “aturan Agung” yang mengatur alam semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti rancangan besar “grand design” yang ditampakkan kepada kita. Inilah dimensi spiritual dari ajaran logoterapi Victor E. Frankl. Hanna Djumhana Bastaman (1994), menyimpulkan tentang logoterapi berpandangan bahwa manusia dengan kesadaran dirinya mampu melepaskan diri dari ancaman-ancaman pengaruh lingkungan dan berbagai bentuk kecenderungan alami ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu dalam dirinya sendiri. Dengan logoterapi kita dapat menemukan hasrat hidup bermakna “the will to meaning” sebagai motif dasar manusia, yang berlawanan dengan hasrat hidup senang (the will to pleasure dari Freud, dan hasrat hidup berkuasa the will to power-nya Alfred Adler. Dalam pandangan logoterapi the will to pleasure merupakan hasil (by product) dan the will to power merupakan sarana untuk memenuhi the will to meaning.
Menurut ajaran logoterapi, bahwa kehidupan ini mempunyai makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaaan sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini, Manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna hidup, yakni melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati -termasuk cinta kasih-, atau dalam setiap sikap yang diambil terhadap keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin terelakkan. Manusia dihadapkan dan diorientasikan kembali kepada makna, tujuan dan kewajiban hidupnya. Kehidupan tidak selalu memberikan kesenangan kepada kita, tetapi senantiasa menawarkan makna yang harus kita jawab. Tujuan hidup buka nlah untuk mencapai keseimbangan tanpa tegangan, melainkan sering dalam kondisi tegangan antara apa yang kita hayati saat ini dengan prospek kita di masa depan. Logoterapi memperteguh daya tahan psikis kita untuk menghadapi berbagai kerawanan hidup yang kita alami. Dalam prakteknya logoterapi dapat mengatasi kasus fobia dengan menggunakan teknik “paradoxical intention”, yaitu mengusahakan agar orang mengubah sikap dari yang semula memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self detachment) terhadap keluhan sendiri, kemudian memandangnya secara humoritas. Logoterapi juga dapat diterapkan pada kasus-kasus frustasi eksistensial, kepapaan hidup, kehampaan hidup, tujuannya adalah membantu kita untuk menyadari adanya daya spiritual Yang terdapat pada setiap orang, agar terungkap nyata (actual) yang semula biasanya ditekan (repressed), terhambat (frustasi) dan diingkari. Energi spiritual tersebut perlu dibangkitkan agar tetap teguh menghadapi setiap kemalangan dan derita.
Dalam kehidupan, mungkin hasrat hidup bermakna sebagai motif utama tidak dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan orang melihat, bahwa dalam kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang sifatnya potensial, yang perlu disadari dan ditemukan, keadaan ini menimbulkan semacamfrustasi yang disebut frustasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi oleh penghayatan tanpa makna (meaningless). Gejala-gejalanya sering tidak terungkapkan secara nyata, karena biasanya bersifat “latent” dan terselubung. Perilaku yang biasanya merupakan selubung frustrasi eksistensial itu sering tampak pada berbagai usaha kompensasi dan hasrat yang berlebihan untuk berkuasa, atau bersenang-senang, mencari kenikmatan duniawiyah (materialisme). Gejala ini biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang, manic-bekerja (wokerholic), free sex, dan perilaku hedonisme lainnya.
Frustrasi eksistensial akan terungkap secara eksplisit dalam penghayatan kebosanan dan sifat apatis. Kebosanan merupakan ketidakmampuan sesorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatisme merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa (inisiatif). frustrasi eksistensial adalah identik dengam kehampaan eksistensial, dan merupakan salah satu factor yang dapat menjelmakan neurosis. Neurosis ini dinamakan “neurosis noogenik”, karena karakteristiknya berlainan dengan neurosis yang klinis konvensional. Neurosis noogenik tidak timbul sebagai akibat adanya konflik antara id, ego, superego, bukan konflik insingtif, bukan karena berbagai dorongan impuls, trauma psikologis, melainkan timbul sebagai akibat konflik moral, antar nilai-nilai, hati nurani, dan problem moral etis, dan sebagainya (Bastaman, 1995).
Kehampaan eksistensial pada umumnya ditunjukkan dengan perilaku yang serba bosan dan apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup, meragukan kehidupan. Logoterapi membantu pribadi untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dan menyadarkan akan tanggung jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani, keluarga, masyarakat, maupun kepada Tuhan. Tugas seorang logoterapis dalam hal ini adalah sekedar membuka cakrawala pandangan klien dan menjajaki nilai-niliai yang memungkinkan dapat diketemukan makna hidup, yaitu nilai-nilai kritis, kreatif, dan sikap bertuhan. Dengan demikian logoterapi mencoba untuk menjawab dan menyelesaikan berbagai problem, krisis, dan keluhan manusia masa kini, yang initinya adalah seputar hasrat untuk hidup secara bermakna.
Dalam prakteknya, logoterapis membantu klien agar lebih sehat secara emosional, dan salah satu cara untuk mencapainya adalah memperkenalkan filsafat hidup yang lebih sehat, yaitu mengajak untuk menemukan makna hidupnya. Menemukan makna hidup merupakan sesuatu yang kompleks. Pada banyak kasus, logoterapis hanya dapat mengajak klien untuk mulai menemukannya. Logoterapis harus menghindar untuk memaksakan suatu makna tertentu pada klien, melainkan mempertajam kepada klien akan makna hidupnya. Mungkin cara yang lebih baik yang dapat dilakukan seorang logoterapis guna membantu klien agar mengenali apa yang ingin ia lakukan dalam hidup adalah memperdulikan dan menciptakan atmosfir yang bersahabat, sehingga klien bebas menjelajahi keunikan dirinya tanpa merasa takut ditolak. Sebagimana setiap orang yang sedang jatuh cinta pada umumnya mampu secara intuitif mengenali makna unik apa yang terdapat dalam hidup orang yang dicintainya.

Bagian IV.
 Melihat uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa logoterapi mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud, tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita tidak lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan eksistensi kita. *Namun kalaulah hidup diisi dengan penderitaaan pun, itu adalah kehidupan yang bermakna, karena keberanian menanggung tragedi yang tak tertanggungkan merupakan pencapaian atau prestasi dan kemenangan.*
Banyak orang menyatakan bahwa logoterapi Victor E. Frankl sangat dekat dengan ajaran agama (spiritual), atau juga bisa merupakan “agama sekuler“. Bagi Frankl makna hidup adalah daya yang membimbing eksistensi manusia, sebagaimana para Nabi membimbing umatnya. Frankl menggabungkan wawasan dari agama-agama dan filsafat-filsafat lama, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadinya selama tiga tahun yang kelam di kamp konsentrasi Nazi yang dituangkan dalam suatu teori psikoterapi, ajaran tersebut dinamakan dengan logoterapi.



sumber:
Abidin, Zainal, */”Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri”/*, Refika Aditama, Bandung, 2002. Baharuddin, */”Paradigma
Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an”/*, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Bastaman, Hanna Djumhana, “Dimensi Spiritual dalam Teori Psikologi Kontemporer: Logoterapi Victor E. Frankl”, dalam */Jurnal Ulumul Qur’an/*, Nomer 4 Vol. V. Tahun 1994. halm 14-21.
Bastaman, Hanna Djumhana, */”Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami”/*, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Frankl, V.E., */”Man’s Seach for Meaning: An Introduction to Logotherapy”/*, Washington Square Press, New York, 1963.
Fromm, Erich, */”Psikologi dan Agama”/*, trj. Oleh Chairul Fuad Yusuf dan Prasetya Utama, Atira, Jakarta, 1988.
Koeswara, E., */”Logoterapi: Psikoterapi Victor Frankl”/*, Kanisius, Yogyakarta, 1992
Rakhmat, Jalaluddin, Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, */”SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan”/*, Mizan, Bandung, 2002.
Rakhmat, Jalaluddin, */”Psikologi Agama: Sebuah Pengantar”/*, Mizan Bandung, 2004. Sukanto, Mm, Dardiri Hasyim, */”Nafsiologi: Refleksi
Analisis tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia”/*, Risalah Gusti, Surabaya, 1995.



Monday, April 1, 2013

Person Centered Therapy

Terapi ini disebut juga client centered Therapy (terapi yang berpusat pada pasien) atau terapi non direktif. Terapi ini pada awalnya dipakai oleh Carl Rogers (1902-1987) pada tahun 1942. Sejak itu banyak prinsip rogers yang dipakai dalam terapi diterima secara luas. Tetapi teknik ini dipakai secara lebih terbatas pada terapi mahasiswa dan orang-orang dewasa muda lain yang engalami masalah-masalah penyesuaian diri yang sederhana. Carl rogers berpendapat bahwa orang-orang memiliki kecenderungn dasar yang mendorong mereka ke aras pertumbuhan dan pemenuhan diri. Dalam pandangan rogers, gangguan-gangguan psikologis pada umumnya terjadi karena orang-orang lain menghambat individu dalam perjalanan menuju aktualisasi-diri. 


Pendekatan humanistik rogers teradap terapi- Person centered therapy- membantu pasien untuk lebih menyadari dan menerima dirinya yang sejati dengan menciptakan kondisi-kondisi penerimaan dan penghargaan dalam hubungan terapeutik. Focus dari terapi adalah pasien. Terapi adalah nondirektif, yakni pasien dan bukan terapis memimpin jalannya terapi. Terapis memantulkan perasaan-perasaan yang diungkapkan pasien untuk membantu berhubungan dengan perasaan-perasaan nya yang lebih dalam dan bagian-bagian dirinya yang tidak diakui karena tidak diterima oleh masyarakat. Terapis memantullkan kembali atau menguraikan dengan kata-kata apa yang diungkapkan pasien tanpa memberi penilaian. 


Metode terapi person-centered 

Rogers mengemukakan enam syarat dalam proses terapi person-centered yang harus dipenuhi oleh terapis. Rogers mengatakan pasien akan mengadakan respon jika (1) terapis menghargai tanggung jawab pasien terhadap tingkah lakunya sendiri (2) terapis mengakui bahwa pasien dalam dirinya sendiri memiliki dorongan yang kuat untuk menggerakan dirinya kearah kematangan (kedewasaan) serta independensi, dan terapis menggunakan kekuatan-kekuatan ini dan bukan usahanya sendiri. (3) mencipakan suasana yang hangat dan memberikan kebebasan yang penuh dimana pasien dapat mengungkapkan atau juga tidak mengungkapkan apa saja yang diinginkannya (4) membatasi tingkah laku tetai bukan sikap (misalnya pasien mungkin mengungkapkan keinginan nya untuk memperpanjang petemuan melampaui batas waktu yang telah disetujui, tetapi terapis tetap memperthankan jadwal semula) (5) terapis membatasi kegiatannya untuk menunjukan pemahaman dan penerimaannya terhadap emosi yang sedang diungkapkan pasien. (6) terapis tidak boleh bertanya, menyelidiki, membujuk, dan meyakinkan kembali. 



Definisi-definisi dan konsep-konsep lain yang penting dalam terapi person centered: 
  1. Self concept (konsep diri) mengenai konsepsi seseorang tentang dirinya.
  2. Ideal self (diri ideal) mengenai self-concept yang ingin dimiliki seseorang (seseorang ingin menjadi apa)
  3. Ketidakselarasan (incongruence) antara diri dan pengalaman yaitu suatu celah antara celf concept seseorang dan apa yang dialaminya.
  4. Ketidakmampuan menyesuaikan diri secara psikologis (psychological malajdusment). Terjadi bila seseorang menyangkal atau mendistorsi pengalaman-pengalaman yang penting. 
  5. Keselarasan antara diri dan pengalaman 
  6. Kebutuhan akan penghargaan positif (need for positive regards)
  7. Kebutuhan akan harga diri 

Contoh Proses terapi 

Ketidakselarasan atau disosiasi merupakan suatu masalah yang terus menerus ditemukan oleh orang-orang yang mempelajari dinamika tingkah laku manusia. Contoh ketidaklarasan yang jelas adalah seorang siswa yang secara sadar ingin supaya berhasil di skolah tetapi ia terus menerus melakukan tingkah laku yang bertentenangan dengan usahanya untuk berhasil dan dia sendiri yakin bahwa dia gagal. Pada umumnya rogers menjawab maslah ini dengan berkata bahwa ada suatu ketidaklarasan atau kerekatan antara self-concept individu tersebut dan pengalaman organism nya karena cinta dari orang tua nya dan orang-orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya dijadikan syarat untuk mengintroyeksikan gagasan-gagasan dan nilai-nilai tertentu seolah-oleh menjadi miliknya. Agasan dan nilai yang diinkorporasika dengan self concept nya sering kali tegar dan statis serta menghambat proses normal anak itu untuk menilai pengalaman-pengalamannya. Oleh karena itu, anak tersebut mengembangkan dan berusaha mengaktualisasikan suatu self (diri) yang bertentangan atau tidak selaras dengan proses organismik yang berdasarkan tendensi aktualisasi. 


Kelebihan 

  1. Pendekatan ini menekankan bahwa konseli dpat menentukan keberhasilan atau kegagalan proses konseling.
  2. Konseli diberi kebebasan untuk merubah dirinya sendiri 
  3. Pentingnya hubungan antar pribadi dalam proses konseling 
  4. Pentingnya konsep diri 
  5. Konselor berperan untuk mengarahkan dan menunjukan sikap pemahaman dan penerimaan 
Kelemahan 

  1. Terkadang konseli seolah-olah merasa tidak diarahkan dan merasa tidak adanya tujuan yang jelas dari proses konseling, apalagi jika tidak adanya pengarahan dan saran dari konselor 
  2. Pendekatan ini dianggap terlalu terikat pada lingkungan kebudayaan Amerika serikat, yag sangat menghargai kemandirian seseorang dan pengembangan potensi dalam kehidupan masyarakat. 
  3. Client-centered counseling yang beraliran ortodoks akan sulit diterapkan terhadap siswa dan mahasiswa dan jarang dilaksanakan dalam institusi pendidikan di Indonesia. 


sumber:
Semiun, Yustinus (2006). Kesehatan mental 3. Yogyakarta: Kanisius 
Psikologi Konseling: Oleh Rizky Putri Asridha Sriemadingin, M.psi

Terapi Humanistik Eksistensial

Dalam buku Theories of Personality oleh Jess Feist & Gregory J. Feist (2008:301), Eksistensi artinya muncul atau menjadi. Eksistensi merujuk kepada proses. Eksistensi diasosiasikan dengan pertumbuhan dan perubahan.

Dalam buku Teori dan Praktek Konseling Psikoterapi oleh Gerald Corey (1999), terapi eksistensial juga bertujuan membantu klien menghadapi kecemasan sehubungan dengan pemilihan nilai dan kesadaran bahwa dirinya bukan hanya sekedar korban kekuatan – kekuatan deterministik dari luar dirinya. Terapi eksistensial memiliki cirinya sendiri oleh karena pemahamannya bahwa tugas manusia adalah menciptakan eksistensinya yang bercirikan integritas dan makna.

Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa melarikan diri dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu saling berkaitan. Dalam terapeutiknya, pendekatan eksistensial humanistic memusatkan perhatian pada asumsi – asumsi filosofis yang melandasi terapi. Pendekatan eksistensial humanistic menyajikan suatu landasan filosofis bagi orang – orang dalam hubungan dengan sesamanya yang menjadi ciri khas, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi – implikasi bagi usaha membantu individu dalam menghadapi pertanyaan – pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan manusia. Pada dasarnya terapi eksistensial memiliki tujuan untuk meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya
A.    KONSEP DASAR
Psikologi eksistensial humanistic berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih – alih suatu system teknik – teknik  yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Pendekatan terapi eksistensial bukan suatu pendekatan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi – terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep – konsep dan asumsi – asumsi tentang manusia. Menurut Gerald Corey, (1988:54-55) ada beberapa konsep utama dari pendekatan eksistensial yaitu :

  1. Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesanggupan untuk memilih alternative – alternatif yakni memutuskan secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia.
2. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab dapat menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati. Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi – potensinya.
3. Penciptaan Makna
Manusia itu unik, dalam artian bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Pada hakikatnya manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah makhluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna dapat menimbulkan kondisi-kondisi keterasingan dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi – potensi manusiawinya sampai taraf tertentu.
Konsep dasar menurut Akhmad Sudrajat adalah :
  • Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala tindakannya.
  • Manusia tidak pernah statis, ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, oleh karena itu manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju aktualisasi diri
  • Setiap orang memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas merupakan fungsi universal kemanusiaan yang mengarah pada seluruh bentuk self expression.
Menurut Akhmad Sudrajat individu yang salah suai tidak dapat mengembangkan potensinya. Dengan perkataan lain, pengalamannya tertekan.
B.     TUJUAN-TUJUAN TERAPEUTIK
Menurut Gerald Corey, (1988:56) ada beberapa tujuan terapeutik yaitu :
a. Agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi – potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Keotentikan sebagai “urusan utama psikoterapi” dan “nilai eksistensial pokok”. Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik :
1)      Menyadari sepenuhnya keadaan sekarang,
2)      Memilih bagaimana hidup pada saat sekarang
3)      Memikul tanggung jawab untuk memilih.
b. Meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.
c. Membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekadar korban kekuatan – kekuatan deterministic di luar dirinya.
Tujuan Konseling menurut Akhmad Sudrajat yaitu :

  • Mengoptimalkan kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa adanya. Saya adalah saya.
  • Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self actualization seoptimal mungkin.
  • Menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh individu dalam proses aktualisasi dirinya.
  • Membantu individu dalam menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau menurut kondisi dirinya.

C.    MODEL OPERASIONAL / STRATEGI KONSELING
Model operasional / strategi yang digunakan adalah Non directive artinya konselor memberikan kepercayaan kepada klien agar aktif.


D.    HUBUNGAN ANTARA TERAPIS DAN KLIEN
Hubungan terapeutik sangat penting bagi terapis eksistensial. Penekanan diletakkan pada pertemuan antar manusia dan perjalanan bersama alih – alih pada teknik-teknik yang mempengaruhi klien. Isi pertemuan terapi adalah pengalaman klien sekarang, bukan “masalah” klien. Hubungan dengan orang lain dalam kehadiran yang otentik difokuskan kepada “di sini dan sekarang”. Masa lampau atau masa depan hanya penting bila waktunya berhubungan langsung (Gerald Corey.1988:61).
Pola hubungan :

  • Hubungan klien adalah hubungan kemanusiaan. Konselor berstatus sebagai partner klien, setara dengan klien sehingga hubungannnya berada dalam situasi bebas tanpa tekanan.
  • Klien sebagai subjek bukan obyek yang dianalisis dan didiagnosis.
  • Konselor harus terbuka baik kepribadiannya dan tidak pura – pura.

E.     MODEL PENAMPILAN
Dimensi I :
  • Konselor hendaknya selalu menghargai dan menghormati klien apa adanya.
  • Konselor mampu untuk menjadikan dirinya sebagai alat perubah pribadi klien dengan jalan membuka pengalaman terhadap konsep diri klien.
  • Menghilangkan kepura – puraan, dan bersifat otentik.
Dimensi II :
  • Konselor memegang kunci bahwa pendekatan terapi berpusat pada pribadi yang difokuskan secara bertanggung jawab.
  • Konselor menekankan pada sikap klien untuk menerima dan memahami dirinya.
F.     MODEL ANALISIS DAN DIAGNOSIS MASALAH
Model Analisis dan diagnosis masalah sebagai berikut :
  • Klien mulai sadar dan dapat menemukan alternative tentang pandangan yang riil.
  • Klien aktif untuk mengetahui penyebab dari kecemasan dan ketakutan.
  • Klien berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab penuh.
G.    MODEL PERAN KONSELING
Model peran konseling sebagai berikut :
  • Memahami dunia klien dan membantu klien untuk berfikir dan mengambil keputusan atas pilihannya yang sesuai dengan keadaan sekarang.
  • Mengembangkan kesadaran, keinsafan tentang keberadaannya sekarang agar klien memahami dirinya bahwa manusia memiliki keputusan diri sendiri.
  • Konselor sebagai fasilitator memberi  dorongan dan motivasi agar klien mampu memahami dirinya dan bertanggung jawab menghadapi reality.
  • Membentuk kesempatan seluas – luasnya kepada klien, bahwa putusan akhir pilihannya terletak ditangan klien.
Dalam buku Gerald Corey, May ( 1961 ) memandanga tugas terapis diantaranya adalah membantu klien agar menyadari keberadaanya dalam dunia : “Ini adalah saat ketika pasien melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia yang mengancam dan sebagai subyek yang memiliki dunia”.
Frankl ( 1959 ) menjabarkan peran terapis sebagai ”spesialis mata ketimbang pelukis”, yang bertugas memperluas dan memperlebar lapangan visual pasien sehingga secara keseluruhan dari makna dan nilai – nilai menjadi disadari dan dapat diamati oleh pasien..
H.    TEKNIK MODEL
Teknik yang digunakan mengikuti alih – alih mendahului pemahaman. Karena menekankan pada pengalaman klien sekarang, para terapis eksistensial menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan metode – metode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bisa bervariasi tidak hanya dari klien yang satu kepada klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama Meskipun terapi eksistensial bukan merupakan metode tunggal, di kalangan terapis eksistensial dan humanistik ada kesepakatan menyangkut tugas – tugas dan tanggung jawab terapis. Psikoterapi difokuskan pada pendekatan terhadap hubungan manusia alih – alih system teknik. Para ahli psikologi humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal – hal berikut (Gerald Corey.1988:58) :
  • Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
  • Menyadari peran dari tanggung jawab terapis.
  • Mengakui sifat timbal balik dari hubungan terapeutik.
  • Berorientasi pada pertumbuhan.
  • Menekankan keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi yang menyeluruh.
  • Mengakui bahwa putusan – putusan dan pilihan – pilihan akhir terletak di tangan klien.
  • Memandang terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis dengan gaya hidup dan pandangan humanistiknya tentang manusia bisa secara implicit menunjukkan kepada klien potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
  • Mengakui kebebasan klien untuk mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
  • Bekerja ke arah mengurangi kebergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.
Menurut Akhmad Sudrajat teknik yang dianggap tepat untuk diterapkan dalam pendekatan ini yaitu teknik client centered counseling, sebagaimana dikembangkan oleh Carl R. Rogers. meliputi: (1) acceptance (penerimaan); (2) respect (rasa hormat); (3)understanding (pemahaman); (4) reassurance (menentramkan hati); (5)encouragementlimited questioning (pertanyaan terbatas; dan (6) reflection(memantulkan pernyataan dan perasaan). (memberi dorongan)
Melalui penggunaan teknik-teknik tersebut diharapkan konseli dapat (1) memahami dan menerima diri dan lingkungannya dengan baik; (2) mengambil keputusan yang tepat; (3) mengarahkan diri; (4) mewujudkan dirinya.
I.       KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PENDEKATAN EKSISTENSIAL HUMANISTIK
Menurut Mahasiswa BK kelebihan dan kelemahan pendekatan eksistensial humanistic adalah :
Kelebihan
  • Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
  • Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri.
  • Memanusiakan manusia.
Kelemahannya
  • Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal
  • Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas.
  • Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri)
  • Memakan waktu lama.
J.      PENERAPAN / APLIKASI
Dalam buku Gerald  Corey (1988:63), Pendekatan eksistensial humanistic tidak memiliki tekik – teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur – prosedur terapeutik bisa diambil dari beberapa pendekatan terapi lainnya. Metode-metode yang berasal dari terapi Gestah dan Analisis Transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa diintegrasikan ke dalam pendekatan eksistensial humanistic.
Pengalaman Klien Dalam Terapi eksistensial, klien mampu mengalami secara subjektif persepsi – persepsi tentang dunianya. Dia harus aktif dalam proses terapeutik, sebab dia harus memutuskan ketakutan-ketakutan, perasaan-perasaan berdosa, dan kecemasan – kecemasan apa yang akan dieksplorasikan. Melalui proses terapi, klien bisa mengeksplorasi alternatif-alternatif guna membuat pandangan -pandangannya menjadi riel.
Penerapan : Eksistensial Humanistik tepat sekali diterapkan pada anak remaja yang dikembangkan dalam lembaga pendidikan dan diperlukan untuk membentuk manusia yang mampu bertanggung jawab dalam mengambil keputusan.
Tema-tema dan dalil-dalil utama eksistensial : penerapan-penerapan pada praktek terapi
Dalil 1 : Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari diri yang menjadikan dirinya mampu melampaui situasi sekarang dan membentuk basis bagi aktivitas-aktivitas berpikir dan memilih yang khas manusia. Kesadaran diri membedakan manusia dengan makhluk-makluk lain. Pada hakikatnya, semakin tinggi kesadaran diri seseorang, maka ia semakin hidup sebagai pribadi. Meningkatkan kesadaran berarti meningkatkan kesanggupan seseorang untuk mengalami hidup secara penuh sebagai manusia. Peningkatan kesadaran diri yang mencakup kesadaran atas alternatif-alternatif, motivasi-motivasi, factor-faktor yang membentuk pribadi, dan atas tujuan – tujuan pribadi, adalah tujuan segenap konseling.
Dalil 2 : Kebebasan dan tanggung jawab
Kebebasan adalah kesanggupan untuk meletakkan perkembangan di tangan sendiri dan untuk memilih di antara alternatif – alternatif. Pendekatan eksistensial meletakkan kebebasan, determinasi diri, keinginan dan putusan pada pusat keberadaan manusia. Tugas terapis adalah membantu kliennya dalam menemukan cara-cara klien sama sekali menghindari penerimaan kebebasannya, dan mendorong klien itu untuk belajar menanggung resiko atas keyakinannya terhadap akibat penggunaan kebebasannya.
Dalil 3 : Keterpusatan dari kebutuhan akan orang lain
Kita masing-masing memiliki kebutuhan yang kuat untuk menemukan suatu diri, yakni menemukan identitas pribadi kita. Kita membutuhkan hubungan dengan keberadaan-keberadaan yang lain. Kita harus memberikan diri kita kepada orang lain dan terlibat dengan mereka.
Keberanian untuk ada. Usaha menemukan inti dan belajar bagaimana hidup dari dalam memerlukan keberanian. Kita berjuang untuk menemukan, untuk menciptakan, dan untuk memelihara inti dari ada kita.
Pengalaman kesendirian. Bahwa kita memikul tanggung jawab atas pilihan-pilihan kita berikut hasil-hasilnya, bahwa komunikasi total dari individu yang satu dengan individu yang lainnya tidak pernah bisa dicapai, bahwa kita adalah individu-individu yang terpisah dari orang lain, dan bahwa kita adalah unik.
Pengalaman keberhubungan. Bahwa kita bergantung pada hubungan dengan orang lain untuk kemanusiaan kita, dan kita memiliki kebutuhan untuk menjadi orang yang berarti dalam dunia orang lain, yang mana kehadiran orang lain penting dalam dunia kita, dan kita memperbolehkan orang lain memiliki arti dalam dunia kita, maka kita mengalami keberhubungan yang bermakna.
Dalil 4 : Pencarian makna
Terapi eksistensial bisa menyediakan kerangka konseptual untuk membantu klien dalam usahanya mencari makna hidup. Manusia pada dasarnya selalu dalam pencarian makna dan identitas diri.
Masalah penyisihan nilai-nilai lama. Nilai – nilai tradisional (dan nilai – nilai yang dialihkan kepada seseorang) tanpa disertai penemuan nilai – nilai lain yang sesuai untuk menggantikannya.
Belajar untuk menemukan maknadalam hidup. Hidup tidak memiliki makna dengan sendirinya, manusialah yang harus menciptakan dan menemukan makna hidup itu. Tugas proses terapeutik adalah menghadapi masalah ketidakbermaknaan dan membantu klien dalam membuat makna dari dunia yang kacau.
Pandangan eksistensial tentang psikopatologi. Adanya konsep psikopatologi yang menyatakan  tentang dosa eksistensial yang timbul dari perasaan tidak lengkap atau dari kesadaran seseorang bahwa tindakan-tindakan dan pilihan-pilihannya tidak bisa menyatakan potensi-potensinya secara penuh sebagai  pribadi.
Dalil 5 : Kecemasan sebagai syarat hidup
Kecemasan adalah suatu karakteristik dasar manusia yang mana merupakan sesuatu yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivasional yang kuat untuk pertumbuhan.
Kecemasan sebagai sumber pertumbuhan. Kita mengalami kecemasan dengan meningkatnyakesadaran kita atas kebebasan dan atas konsekuensi-konsekuensi dari penerimaan ataupun penolakan kebebasan kita itu.
Pelarian dari kecemasan. Suatu fungsi dari penerimaan kita atas kesendirian dan, meskipun kita bisa menemukan hubungan yang bermakna dengan orang lain, kita pada dasarnya tetap sendirian.
Implikasi-implikasi konseling bagi kecemasan. Membantu klien untuk menyadari bahwa belajar menoleransi keberdwiartian dan ketidaktentuan serta belajar bagaimana hidup tanpa sandaran dapat merupakan fase yang penting dalam perjalanan dari hidup yang bergantung kepada menjadi pribadiyang lebih otonom.
Dalil 6 : Kesadaran atas kematian dan non ada
Para eksistensialis tidak memandang kematian secara negative, dan mengungkapkan bahwa hidup memiliki makna karena memiliki keterbatasan waktu. Karena kita bersifat lahiriah, bagaimanapun, kematian menjadi pendesak bagi kita agar menganggap hidup dengan serius. Ketakuatan terhadap kamatian membayangi mereka yang takut mengulurkan tangan dan benar – benar merangkul kehidupan.
Dalil 7 : Perjuangan untuk aktualisasi diri
Setiap orang memiliki dorongan bawaan untuk menjadi seorang pribadi, yakni mereka memiliki kecenderungan kearah pengembangan keunikan dan ketunggalan, penemuan identitas pribadi, dan perjuangan demi aktualisasi potensi – potensinya secara penuh. Jika seseorang mampu untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya sebagai pribadi, maka ia akan mengalami kepuasan yang paling dalam yang bisa dicapai oleh manusia, sebab demikianlah alam mengharapkan mereka berbuat.

sumber:

Gerald, Corey. 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.Bandung : PT ERESCO
Feist, Jess & Gregory J Feist. 2008. Theories of Personality. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Mahasiswa BK. 2009. Model-Model Konseling. UMK