Friday, November 8, 2013

Sistem Informasi Berbasis Komputer

Computer Base Information System, berarti bahwa komputer memainkan peranan penting dalam sebuah sistem informasi, secara teoritis, penerapan sebuah sistem informasi memang tidak harus menggunakan komputer dalam kegiatannya, namun pada prakteknya dengan data dan kebutuhan informasi yang begitu kompleks maka peran teknologi komputer begitu dibutuhkan, peran komputer inilah yang dikenal dengan istilah “computer based” karena digunakan untuk mengolah informasi dalam sebuah sistem maka disebut “Computer Base Information System” atau sistem informasi berbasis komputer.
Sistem informasi berbasis computer memiliki serangkaian sub di antaranya :
1.      Sistem Informasi Akuntansi :         Sistem informasi akuntansi adalah sistem informasi yang menjadi acuan dalam sistem informasi formal lainnya, seperti sumber daya manusia, keuangan, pemasaran, peralatan, catatan-catatan dan laporan guna memberikan informasi pada suatu perusahaan (Wilkinson, Baridwan & Mulyadi).
Fungsi penting yang dibentuk SIA pada sebuah organisasi antara lain :-         Mengumpulkan dan menyimpan data tentang aktivitas dan transaksi.-    Memproses data menjadi into informasi yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan. -         Melakukan kontrol secara tepat terhadap aset organisasi.

2.      Sistem Informasi ManajemenSistem Informasi Manajemen adalah sistem informasi berbasis komputer yang menyediakan informasi untuk mendukung kebutuhan manajemen (Febrian, McLeod & Schell).Meskipun demikian, masih dalam buku yang sama dinyatakan bahwa MIS adalah kumpulan manusia dan sumber daya di dalam sebuah organisasi yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan memproses data untuk menghasilkan informasi yang berguna untuk semua tingkatan manajemen dalam aktivitias perencanaan dan pengendalian.Tujuan umum Sistem Informasi Manajemen :·   Menyediakan informasi yang dipergunakan di dalam perhitungan harga pokok jasa, produk, dan tujuan lain yang diinginkan manajemen.· Menyediakan informasi yang dipergunakan dalam perencanaan, pengendalian, pengevaluasian, dan perbaikan berkelanjutan.·         Menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan.Ketiga tujuan tersebut menunjukkan bahwa manajer dan pengguna lainnya perlu memiliki akses ke informasi akuntansi manajemen dan mengetahui bagaimana cara menggunakannya. Informasi akuntansi manajemen dapat membantu mereka mengidentifikasi suatu masalah, menyelesaikan masalah, dan mengevaluasi kinerja (informasi akuntansi dibutuhkan dam dipergunakan dalam semua tahap manajemen, termasuk perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan).

3.      Sistem Pendukung Keputusan (SPK)Sistem Pendukung Keputusan  adalah suatu sistem informasi berbasis komputer yang menghasilkan berbagai alternatif keputusan untuk membantu manajemendalam menangani berbagai permasalahan yang terstruktur ataupun tidak terstruktur dengan menggunakan data dan model .
4.      Office AutomationOffice Automation / Otomatisasi Kantor adalah penggunaan alat elektronik untuk memudahkan komunikasi formal dan informal terutama berkaitan dengan komunikasi informasi dengan orang-orang di dalam dan di luar perusahaan untuk meningkatkan produktivitas.

Aplikasi Office Automation
1. Pengolahan Kata : penggunaan alat elektronik yang secara otomatis melaksanakan banyak tugas yang diperlukan untuk menyiapkan dokumen yang ditik atau dicetak.
2. Surat elektronikatau yang dikenal sebagai E-mail, adalah penggunaan jaringan komputer yang memungkinkan para pemakai mengirim, menyimpan dan menerima pesan-pesan deengan menggunakan terminal komputer dan alat penyimpanan.
3. Voice mail : Voice mail memerlukan komputer dengan kemampuan menyimpan pesan audio dalam bentuk digital dan kemudian mengubahnya kembali menjadi bentuk audio saat dipanggil.
4. Kalender elektronikAdalah penggunaan jaringan komputer untuk menyimpan dan mengambil kalender pertemuan manajer.
5. Konferensi Audio : Adalah penggunaan peralatan komunikasi suara untuk membuat suatu hubungan audio diantara orang-orang yang tersebar secara geografis dengan tujuan melaksanakan konferensi. Konferensi audio tidak memerlukan komputer, hanya melibatkan fasilitas komunikasi audio dua arah.
6. Konferensi video Adalah penggunaan peralatan televisi untuk menghubungkan para peserta konferensi yang tersebar secara geogrrafis. Peralatan tersebut menyediakan hubungan audio dan video.
7. Konferensi Komputer Konferensi komputer adalah penggunaan jaringan komputer untuk memungkinkan para anggota tim pemecahan masalah bertukar informasi mengenai masalah yang sedang dipecahkan.
8. Transmisi faxsimili (FAX) adalah penggunaan peralatan khususyang dapat membaca citra dokumen pada satu ujung saluran komunikasi dan membuat salinannya di ujung yang lain. Saluran komunikasinya sangat sering berbentuk saluran telepon biasa.
9.Videotext Penggunaan komputer untuk menampilkan pada layar CRT materi narasi dan grafik yang tersimpan.
10. Pencitraan (imaging) : Merupakan penggunaan pengenal karakter secara optik (optical character recognition) untuk mengubah catatan-catatan kertas atau microfilm menjadi format digital untuk disimpan didalam alat penyimpanan sekunder . Kemudian citra tersebut dapat diambil untuk ditampilkan atau dicetak.
11.Deskstop Publishing (DTP) Adalah penggunaan komputer untuk menyiapkan output tercetak yang kualitasnya sangat mirip dengan yang dihasilkan oleh typesetter.

5.      Sistem pakar (expert systems)Sistem pakar adalah sistem yang berusaha mengapdosi pengetahuan manusia ke komputer, agar komputer dapat menyelesaikan masalah seperti yang biasa dilakukan oleh para ahli. Sistem pakar yang baik dirancang agar dapat menyelesaikan suatu permasalahan tertentu dengan meniru kerja dari para ahli.Sistem pakar juga dapat diartikan dimana kepakaran ditransfer dari seorang pakar (atau sumber kepakaran yang lain) ke komputer, pengetahuan yang ada disimpan dalam komputer, dan pengguna dapat berkonsultasi pada komputer itu untuk suatu nasehat, lalu komputer dapat mengambil inferensi (menyimpulkan, mendeduksi, dll.) seperti layaknya seorang pakar, kemudian menjelaskannya ke pengguna tersebut, bila perlu dengan alasan-alasannya.

Sumber :McLeod, Raymond. (2001). Sistem Informasi Manajamen. Jakarta: PT Prenhaslindo.http://informatika.web.id/sistem-informasi-berbasis-komputer-cbis.htmlhttp://ilmuakuntansi.web.id/pengertian-sistem-informasi-akuntansi/http://ericute.files.wordpress.com/2009/04/pertemuan-13.pdf/http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/521/jbptunikompp-gdl-budinim101-26008-6-unikom_b-i.pdf/http://www.komarudintasdik.me/2013/03/definisi-sistem-informasi-manajemen.html/

Friday, October 18, 2013

Sistem Informasi Psikologi

  • Apa itu Sistem? Asal kata Sistem berasal dari bahasa Latin systema  dan bahasa Yunani sustema. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai suatu tujuan.
 
Berikut ini beberapa Pengertian Sistem Menurut para Ahli:
1. Pengertian Sistem Menurut Jogianto: mengemukakan bahwa sistem adalah kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. sistem ini menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan kesatuan yang nyata adalah suatu objek nyata, seperti tempat, benda, dan orang-orang yang betul-betul ada dan terjadi.
2. Pengertian Sistem Menurut Indrajit: mengemukakan bahwa sistem mengandung arti kumpulan-kumpulan dari komponen-komponen yang dimiliki unsur keterkaitan antara satu dengan lainnya.

  • Informasi mempunyai manfaat dan peranan yang sangat dominan dalam suatu organisasi/perusahaan. Tanpa adanya suatu informasi dalam suatu organisasi, para manajer tidak dapat bekerja dengan efisien dan efektif. Tanpa tersedianya informasi pun para manajer tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat dan mencapai tujuan dengan efektif dan efisien. Sehingga bisa dibilang bahwa informasi merupakan sebuah keterangan yang bermanfaat untuk para pengambil keputusan dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Berikut ini adalah pengertian dan definisi informasi menurut beberapa ahli:
 
1. Pengertian informasi menurut Joner Hasugian
Informasi adalah sebuah konsep yang universal dalam jumlah muatan yang besar, meliputi banyak hal dalam ruang lingkupnya masing-masing dan terekam pada sejumlah  media
2. Pengertian informasi menurut Kenneth C. Laudon
Informasi adalah data yang sudah dibentuk ke dalam sebuah formulir bentuk yang bermanfaat dan dapat digunakan untuk manusia
 
  • Psikologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani Psychology yang merupakan gabungan dan kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos berarti ilmu. Secara harafiah psikologi diartikan sebagal ilmu jiwa. Istilah psyche atau jiwa masih sulit didefinisikan karena jiwa itu merupakan objek yang bersifat abstrak, sulit dilihat wujudnya, meskipun tidak dapat dimungkiri keberadaannya.

Ada banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang pengertian psikologi, diantaranya:
1. Pengertian Psikologi menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13 (1990), Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan binatang baik yang dapat dilihat  secara langsung maupun yang tidak dapat dilihat secara langsung.
2. Pengertian Psikologi menurut Dakir (1993), psikologi membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya.
3. Pengertian Psikologi menurut Muhibbin Syah (2001), psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Tingkah laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat psikomotor yang meliputi perbuatan berbicara, duduk , berjalan dan lain sebgainya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan, berperasaan dan lain sebagainya.
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak disadari.
 
Dari pengertian sistem, informasi dan psikologi, dapat disimpulkan bahwa pengertian sistem informasi psikologi adalah kumpulan komponen elemen-elemen data yang sudah diolah untuk mempelajari ilmu tentang manusia.
 
 
Dakir. 1993. Dasar-Dasar Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Muhibbinsyah. 2001. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Tuesday, May 7, 2013

Behaviour therapy



Terapi perilaku (Behaviour therapy, behavior modification) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh Teori Belajar (learning theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti; depression, anxiety disorders, phobias, dengan memakai tehnik yang didisain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.  

SEJARAH PERKEMBANGAN TERAPI PERILAKU
Watson dkk selama 1920 melakukan pengkondisian (conditioning) dan pelepasan kondisi (deconditioning) pada rasa takut, merupakan cikal bakal terapi perilaku formal.  Pada tahun 1927, Ivan Pavlov terkenal dengan percobaannya pada anjing dengan  memakai suara bell untuk mengkondisikan anjing bahwa bell = makanan, yang kemudian dikenal juga sebagai Stimulus dan Respon.

Terapi perilaku pertama kali ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek penelitian oleh BF Skinner, Ogden Lindsley, dan Harry C. Salomo. Selain itu termasuk juga Wolpe Yusuf dan Hans Eysenck.
Secara umum, terapi perilaku berasal dari tiga Negara, yaitu Afrika Selatan (Wolpe), Amerika Serikat (Skinner), dan Inggris (Rachman dan Eysenck) yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda dalam melihat masalah perilaku. Eysenck memandang masalah perilaku sebagai interaksi antara karakteristik kepribadian, lingkungan, dan perilaku.
Skinner dkk. di Amerika Serikat menekankan pada operant conditioning yang menciptakan sebuah pendekatan fungsional untuk penilaian dan intervensi berfokus pada pengelolaan kontingensi seperti ekonomi dan aktivasi perilaku.
Ogden Lindsley merumuskan precision teaching, yang mengembangkan program grafik (bagan celeration) standar untuk memantau kemajuan klien. Skinner secara pribadi lebih tertarik pada program-program untuk meningkatkan pembelajaran pada mereka dengan atau tanpa cacat dan bekerja dengan Fred S. Keller untuk mengembangkan programmed instruction.

Program ini dicoba ke dalam pusat rehabilitasi Aphasia dan berhasil. Gerald Patterson menggunakan program yang sama untuk mengembangkan teks untuk mengasuh anak-anak dengan masalah perilaku.

Tujuan:
Tujuan umum terapi tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya terdapat respons-respons yang layak, namun belum dipelajari;
Meningkatkan perilaku, atau
Menurunkan perilaku
Meningkatkan perilaku:
Reinforcement positif: memberi penghargaan thd perilaku
Reinforcement negatif: mengurangi stimulus aversi
Mengurangi perilaku:
Punishment: memberi stimulus aversi
Respons cost: menghilangkan atau menarik reinforcer
Extinction: menahan reinforcer

Teori dasar Metode Terapi Perilaku
Perilaku maladaptif dan kecemasan persisten telah dibiasakan (conditioned) atau dipelajari (learned)
Terapi  untuk perilaku maladaptif adalah dg penghilangan kebiasaan (deconditioning) atau ditinggalkan (unlearning)
Untuk menguatkan perilaku adalah dg pembiasaan perilaku (operant and clasical conditioning)
Fungsi dan Peran Terapis
Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah manusia, para kliennya. Terapi tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkahlaku yang baru dan adjustive.

Hubungan antara Terapis dan Klien
Pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik, peran terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Para terapis tingkah laku menghindari bermain peran yang dingin dan impersonal sehingga hubungan terapeutik lebih terbangun daripada hanya memaksakan teknik-teknik kaku kepada para klien. .

Bentuk bentuk terapi Perilaku
1.  Sistematis Desensitisasi, adalah jenis terapi perilaku yang digunakan dalam bidang psikologi untuk membantu secara efektif mengatasi fobia dan gangguan kecemasan lainnya. Lebih khusus lagi, adalah jenis terapi Pavlov/terapi operant conditioning therapy yang dikembangkan oleh psikiater Afrika Selatan, Joseph Wolpe.
Dalam metode ini, pertama-tama klien diajarkan keterampilan relaksasi untuk mengontrol rasa takut dan kecemasan untuk fobia spesifik. Klien dianjurkan menggunakannya untuk bereaksi terhadap situasi dan kondisi sedang ketakutan. Tujuan dari proses ini adalah bahwa seorang individu akan belajar untuk menghadapi dan mengatasi phobianya, yang kemudian mampu mengatasi rasa takut dalam phobianya.
Fobia spesifik merupakan salah satu gangguan mental yang menggunakan proses desensitisasi sistematis. Ketika individu memiliki ketakutan irasional dari sebuah objek, seperti ketinggian, anjing, ular, mereka cenderung untuk menghindarinya.
 Tujuan dari desensitisasi sistematis untuk mengatasi ini adalah pola memaparkan pasien bertahap ke objek fobia sampai dapat ditolerir.
2.  Exposure and Response Prevention (ERP),  untuk berbagai gangguan kecemasan, terutama gangguan Obsessive Compulsive. Metode ini berhasil bila efek terapeutik yang dicapai ketika subjek menghadapi respons dan menghentikan pelarian.
Metodenya dengan memaparkan pasien pada situasi dengan harapan muncul kemampuan menghadapi respon (coping) yang akan mengurangi mengurangi tingkat kecemasannya.  Sehingga pasien bisa belajar dengan menciptakan coping strategy terhadap keadaan yang bisa menyebabkan kecemasan perasaan dan pikiran.  Coping strategy ini dipakai untuk mengontrol situasi, diri sendiri dan yang lainnya untuk mencegah timbulnya kecemasan.
3. Modifikasi perilaku, menggunakan teknik perubahan perilaku yang empiris untuk memperbaiki perilaku, seperti mengubah perilaku individu dan reaksi terhadap rangsangan melalui penguatan positif dan negatif.
Penggunaan pertama istilah modifikasi perilaku nampaknya oleh Edward Thorndike pada tahun 1911. Penelitian awal tahun 1940-an dan 1950-an istilah ini digunakan oleh kelompok penelitian Joseph Wolpe, teknik ini digunakan untuk meningkatkan perilaku adaptif melalui reinforcement dan menurunkan perilaku maladaptive melalui hukuman (dengan penekanan pada sebab).
Salah satu cara untuk memberikan dukungan positif dalam modifikasi perilaku dalam memberikan pujian, persetujuan, dorongan, dan penegasan; rasio lima pujian untuk setiap satu keluhan yang umumnya dipandang sebagai efektif dalam mengubah perilaku dalam cara yang dikehendaki dan bahkan menghasilkan kombinasi stabil.
4. Flooding, adalah teknik psikoterapi yang digunakan untuk mengobati fobia. Ini bekerja dengan mengekspos pasien pada keadaan yang menakutkan mereka.  Misalnya ketakutan pada laba laba (arachnophobia ),  pasien kemudian dikurung bersama sejumlah laba laba sampai akhirnya sadar bahwa tidak ada yang terjadi. 
Banjir ini diciptakan oleh psikolog Thomas Stampfl pada tahun 1967. Flooding adalah bentuk pengobatan yang efektif untuk fobia antara lain psychopathologies. Bekerja pada prinsip-prinsip pengkondisian klasik-bentuk pengkondisian Pavlov klasik-di mana pasien mengubah perilaku mereka untuk menghindari rangsangan negatif.

Tehnik Terapi: 
Mencari stimulus yang memicu gejala gejala
Menaksir/analisa kaitan kaitan bagaimana gejala gejala menyebabkan perubahan tingkah laku klien dari keadaan normal sebelumnya.
Meminta klien membayangkan sejelas jelasnya dan menjabarkannya tanpa disertai celaan atau judgement oleh terapis.
Bergerak mendekati pada ketakutakan yang paling ditakuti yang dialami klien dan meminta kepadanya untuk membayangkan apa yang paling ingin dihindarinya, dan
Ulangi lagi prosedur di atas sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam diri klien.
5. Latihan relaksasi 
Relaksasi menghasilkan efek fisiologis yang berlawanan dengan kecemasan yaitu kecepatan denyut jantung yang lambat, peningkatan aliran darah perifer, dan stabilitas neuromuscular. Berbagai metode relaksasi telah dikembangkan, walaupun beberapa diantaranya, seperti yoga dan zen, telah dikenal selama berabad-abad.
Sebagian besar metode untuk mencapai relaksasi didasarkan pada metode yang dinamakan relaksasi progresif. Pasien merelaksasikan kelompok otot-otot besarnya dalam urutan yang tertentu, dimulai dengan kelompok otot kecil di kaki dan menuju ke atas atau sebaliknya. Beberapa klinisi menggunakan hypnosis untuk mempermudah relaksasi atau menggunakan tape recorder untuk memungkinkan pasien mempraktekkan relaksasi sendiri.
Khayalan mental atau mental imagery adalah metode relaksasi dimana pasien diinstruksikan untuk mengkhayalkan diri sendiri di dalam tempat yang berhubungan dengan rasa relaksasi yang menyenangkan. Khayalan tersebut memungkinkan pasien memasuki keadaan atau pengalaman relaksasi seperti yang dinamakan oleh Benson, respon relaksasi.

6. Observational learning, Juga dikenal sebagai: monkey see monkey do. Ada 4 proses utama observasi pembelajaran.
Attention to the model.
Retention of details (observer harus mampu mengingat kebiasaan model)
Motor reproduction (observer mampu menirukan aksi)
Motivation and opportunity (observer harus termotivasi melakukan apa yang telah diobservasi dan diingat dan harus berkesempatan melakukannya).
reinforcement. Punishment may discourage repetition of the behaviour
7.Latihan Asertif 
Tehnik latihan asertif membantu klien yang:
Tidak mampu mengungkapkan ‘’emosi’’ baik berupa mengungkapkan rasa marah atau perasaan tersinggung.
Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya,
Klien yang sulit menyatakan penolakan, mengucapkan kata “Tidak”.
Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Prosedur:  
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran.
Misalnya, klien mengeluh bahwa dia acap kali merasa ditekan oleh atasannya untuk melakukan hal-hal yang rnenurut penilaiannya buruk dan merugikan serta mengalami hambatan untuk bersikap tegas di hadapan atasannya itu.
Cara Terapinya:
Pertama-tama klien memainkan peran sebagai atasan, memberi contoh bagi terapis, sementara terapis mencontoh cara berpikir dan cara klien menghadapi atasan. Kemudian, mereka saling menukar peran sambil klien mencoba tingkah laku baru dan terapis memainkan peran sebagai atasan. Klien boleh memberikan pengarahan kepada terapis tentang bagaimana memainkan peran sebagai atasannya secara realistis, sebaliknya terapis melatih klien bagaimana bersikap tegas terhadap atasan.
8. Terapi Aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat/hilang.
Terapi ini mencakup gangguan, kecanduan Alkohol, Napza, Kompulsif, Fetihisme, Homoseksual, Pedhophilia, Judi, Penyimpangan seksual lainnya.
Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling kontroversi, misalnya memberikan kejutan listrik pada anak anak autis bila muncul tingkah laku yang tidak diinginkan.

Efek-efek samping:
Emosional tambahan seperti tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi akan ditekan hanya apabila penghukum hadir.
Jika tidak ada tingkah laku yang menjadi alternatif bagi tingkah laku yang dihukum, maka individu ada kemungkinan menarik diri secara berlebihan,
Pengaruh hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku lain yang berkaitan dengan tingkah laku yang dihukum, Mis; Seorang anak yang dihukum karena kegagalannya di sekolah boleh jadi akan membenci semua pelajaran, sekolah, semua guru, dan barangkali bahkan membenci belajar pada umumnya,
9. Pengondisian operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku paling berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dengan alat-alat makan, bermain, dsb.
Menurut Skinner (1971) jika suatu tingkah laku diganjar maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Prinsip penguatan yang menerangkan pembentukan, memelihara, atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan inti dari pengondisian operan. Berikut ini uraian ringkas dari metode-metode pengondisian operan yang mencakup: perkuatan positif, pembentukan respons, perkuatan intermiten, penghapusan, pencontohan, dan token economy.
Perkuatan positif, adalah pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Cara ini ampuh untuk mengubah tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat, baik primer maupun sekunder, diberikan untuk rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat-pemerkuat primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Contoh pemerkuat primer adalah makanan dan tidur atau istirahat. Pemerkuat-pemerkuat sekunder, yang memuaskan kebutuhan kebutuhan psikologis dan sosial, memiliki nilai karena berasosiasi dengan pernerkuat-pemerkuat primer.
Pembentukan Respon, adalah tingkah laku yang sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat dalam perbendaharaan tingkah laku individu. Perkuatan sering digunakan dalam proses pembentukan respons ini. jadi, misalnya, jika seorang guru ingin membentuk tingkah laku kooperatif sebagai ganti tingkah laku kompetitif, dia bisa memberikan perhatian dan persetujuan kepada tingkah laku yang diinginkannya itu. Pada anak autistik yang tingkah laku motorik, verbal, emosional, dan sosialnya kurang adaptif, terapis bisa membentuk tingkah laku yang lebih adaptif dengan memberikan pemerkuat-pemerkuat primer maupun sekunder.
Perkuatan intermiten, diberikan secara bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik. Tingkah laku yang dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus-menerus. Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-tahap permulaan terapis harus mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang diinginkan, sesegera mungkin saat tingkah laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku spesifik apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah tingkah laku yang diinginkan itu meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi pemberian perkuatan bisa dikurangi.
Penghapusan, adalah dengan landadsan bahwa apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang dipelajari cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk menghapus tingkah laku yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah laku yang maladaptif itu. Penghapusan dalam kasus semacam ini boleh jadi berlangsung lambat karena tingkah laku yang akan dihapus telah dipelihara oleh perkuatan intermiten dalam jangka waktu lama. Wolpe (1969) menekankan bahwa penghentian pemberian perkuatan harus serentak dan penuh. Misalnya, jika seorang anak menunjukkan kebandelan di rumah dan di sekolah, orang tua dan guru si anak bisa menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk menghapus kebandelan anak tersebut. Pada saat yang sama perkuatan positif bisa diberikan kepada si anak agar belaj.u tingkah laku yang diinginkan.
Modeling, metodenya dengan mengamati seorang  kemudian mencontohkan tingkah laku sang model.  Bandura(1969), menyatakan bahwa belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung, bisa juga diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Jadi, kecakapan-kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Juga reaksi-reaksi emosional yang terganggu yang dimiliki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yang mendekati objek-objek atau situasi-situasi yang ditakuti tanpa mengalami akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya. Pengendalian diri pun bisa dipelajari melalui pengamatan atas model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat berarti dan orang-orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku model-model yang menempati status yang tinggi dan terhormat di mata mereka sebagai pengamat.
Token Ekonomi, metode token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh. Dalam token economy, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan perkuatan-perkuatan yang bisa diraba (tanda-tanda seperti kepingan logam) yang nantinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diingini. Metode taken economy sangat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata, misalnya, para pekerja dibayar untuk hasil pekerjaan mereka.

Hasil Terapi Perilaku
Terapi perilaku telah berhasil dalam berbagai gangguan dan mudah diajarkan. Cara ini memakan waktu yang lebih sedikit dibandingkan terapi lain dan lebih murah digunakan. Keterbatasan metode adalah bahwa cara ini berguna untuk gejala perilaku yang terbatas, bukannya disfungsi global (sebagai contohnya, konflik neurotic, gangguan kepribadian). Ahli teori yang berorientasi analitik telah mengkritik terapi perilaku dengan mengatakan bahwa menghilangkan gejala sederhana dapat menyebabkan gejala pengganti. Dengan kata lain, jika gejala tidak dipandang sebagai akibat dari konflik dalam diri ( inner conflict ) dan jika penyebb inti dari gejala tidak di jawab atau di ubah, hasilnya adalah timbulnya gejala baru. Satu interpretasi terapi perilaku dicontohkan oleh pernyataan controversial dari Eysenck: “ teori belajar tentang gejala neurotic adalah semata – mata kebiasaan yang dipelajari; tidak terdapat neurosis yang mendasari gejala, tetapi semata- mata gejala itu sendiri. Sembuhkan gejalanya dan anda telah menghilangkan neurosis.” Beberapa ahli terapi percaya bahwa terapi perilaku adalah pendekatan yang terlalu disederhanakan kepada psikopatologi dan interaksi kompleks antara ahli terapi dan pasien. Substitusi gejala mungkin tidak dapat dihindari, tetapi kemungkinannya adalah suatu pertimbangan penting dalam menilai kemanjuran terapi perilaku.
Seperti pada bentuk terapi lainnya, suatu pemeriksaan masalah, motivasi dan kekuatan psikologis pasien harus dilakukan sebelum menerapkan pendekatan terapi perilaku.


sumber:
Gerald Corey, Konseling dan Psikoterapi,  Refika Aditama, 2009, Bandung
Michel Hersen, Encyclopedia of Psychotherapy, Pacific University, Forest Grove, Oregon. AP.
Windy Dryden, Developments  in  Psychotherapy, SAGE Publications Ltd, 2006, London.
John and Rita Sommers,  Counseling and Psychotherapy theories in context and practice, John Wiley & Sons, Inc, 2004, New Jersey.

Monday, April 29, 2013

Rational Emotive Therapy


Pengertian Rational Emotive Therapy (RET),yakni corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berpikir dan akal sehat(rational thinking), berperasaan(emoting), dan berperilaku(acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku. Maka, orang yang mengalami gangguan dalam alam perasaannya, harus dibantu untuk meninjau kembali caranya berpikir dan memanfaatkan akal sehat.

Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Alberl Ellis, seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian. Teori ini dikembangkanya ketika ia dalam praktek terapi mendapatkan bahwa sistem psikoanalisis ini mempunyai kelemahan-kelemahan secara teoritis (Ellis, 1974).

Teori Rasional Emotif ini merupakan sintesis baru dari Behavior Therapy yang klasik (termasuk Skinnerian Reinforcement dan Wolpein Systematic Desensitization). Oleh karena itu Ellis menyebut terapi ini sebagai Cognitive Behavior Therapy atau Comprehensive Therapy.
Konsep ini merupakan sebuah aliran baru dari Psikoterapi Humanistik yang berakar pada filsafat eksistensialisme yang dipelopori oleh Kierkegaard, Nietzsche, Buber, Heidegger, Jaspers dan Marleu Ponty, yang kemudian dilanjutkan dalam bentuk eksistensialisme terapan dalam Psikologi dan Psikoterapi, yang lebih dikenal sebagai Psikologi Humanistik.


Konsep-Konsep Dasar Rational Emotive Therapy
Rational Emotive Therapy adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.

Tujuan Rational Emotive Therapy
1. Memperbaiki dan mengubah segala perilaku yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.
2.  Menghilangkan gangguan emosional yang merusak
3. Untuk membangun Self Interest, Self Direction, Tolerance, Acceptance of Uncertainty, Fleksibel, Commitment, Scientific Thinking, Risk Taking, dan Self Acceptance Klien.
4. Menunjukkan dan menyadarkan klien bahwa cara pikir yang tidak logis itulah penyebab gangguan emosionalnya.
Teori A-B-C tentang Kepibadian
A. Adalah activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu
B.  Adalah beliefs, yaitu keyakinan-keyakinan
C.  Adalah consequence, yaitu konsekuensi-konsekuensi
Teknik-Teknik Kognitif
a. Teknik Pengajaran
b. Teknik Persuasif.
c.  Teknik Konfrontasi
d.  Teknik Pemberian Tugas
Teknik-Teknik Emotif
a. Teknik Sosiodrama
b. Teknik 'Self Modelling'
c. Teknik 'Assertive Training'
Teknik-Teknik Behavioristik
a. Teknik Reinforcement
b. Teknik Social Modelling
Kebaikan dan Kelemahan Rational Emotive Therapy
Kebaikan
1) Pendekatan ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan itu perawatan juga dapat dilakukan dengan cepat.
2) Kaedah pemikiran logik yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi gejala yang lain.
3) Klien merasakan diri mereka mempunyai keupayaan intelektual dan kemajuan dari cara berfikir.
Kelemahan
1) Ada klien yang boleh ditolong melalui analisa logik dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu sulit otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika.
2) Ada setengah klien yang begitu terpisah dari realita sehingga usaha untuk membawanya ke alam nyata sukar sekali dicapai.
3) Ada juga klien yang terlalu berprasangka terhadap logik, sehingga sukar untuk mereka menerima analisa logik.

Langkah-Langkah Rational Emotive Therapy (RET)
1) Langkah pertama
    Konselor berusaha menunjukkan bahwa cara berfikir klien harus logis kemudian membantu bagaimana dan mengapa klien sampai pada cara seperti itu, menunjukkan pola hubungan antara pikiran logis dan perasaan yang tidak bahagia atau dengan gangguan emosi yang di alami nya.
2) Langkah kedua
     Menunjukkan kepada klien bahwa jika ia  mempertahankan perilakunya maka ia akan terganggu dengan cara berpikirnya yang tidak logis inilah yang menyebabkan masih adanya gangguan sebagaimana yang di rasakan.
3) Langkah ketiga
      Bertujuan mengubah cara berfikir klien dengan membuang cara berfikir yang tidak logis
4) Langkah keempat
     Dalam hal ini konselor menugaskan klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata.


sumber:
Corey Gerald, Teori dan Paktek Konseling & Psikoterapi, PT Refika Aditama : Bandung, 2007
Drs. Abdul hayat, M.Pd, Teori dan Teknik Pendekatan Konseling, Banjarmasin, lanting media aksara:2010
Drs. Dewa ketut Sukardi, Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta:PT Aneka Cipta,1990
Prof.Dr.Sofyan S Willis, Konseling Individual Teori dan Praktek, Bandung, Alfabeta: 2007
Singgah D. Gunarsah, konseling dan psikoterapi, Jakarta :Gunung Mulia, 2000
Sukardi Dewa Ketut. Pengantar Teori Konseling, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1985
W.S.Winkel, dan M.M.Sri Hastuti, Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta,Media Abadi:2006

Monday, April 22, 2013

Analisis Transaktional


1. Pengertian Analisis TransaksionalDalam buku Transactional Analysis in Psychotherapy, Berne (1961) mendefinisikan analisis transaksional sebagai sistematika analisis struktur transaksi, mencakup aspek-aspek kepribadian dan dinamika sosial yang disusun berdasar pengalaman klinis serta merupakan bentuk terapi rasional yang mudah dipahami, dan mampu menyesuaikan dengan latar budaya klien. Analisis transaksional adalah metode yang menyelidiki peristiwa dalam interaksi orang per-orang, cara mereka memberikan umpan balik serta pola permainan status ego masing-masing. Metode ini kemudian dikenal sebagai salah satu teknik psikoterapi yang dapat digunakan dalam pelatihan individual, tetapi lebih cocok digunakan secara berkelompok (Corey, 2005). Analisis transaksional menurut pandangan Stewart (1996) berbeda dengan sebagian besar model terapi lain karena merupakan bentuk terapi berdasarkan kontraktual dan desisional. Analisis transaksional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien, yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses pelatihan. Analisis transaksional juga berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien dan menekankan pada aspek-aspek kognitif rasional-behavioral serta berorientasi pada peningkatan kesadaran, sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru untuk mengubah cara hidupnya (Spanceley, 2009). Sementara menurut pandangan Spanceley (2009), metode analisis transaksional sebagai bentuk penanganan masalah-masalah psikologis yang didasarkan atas hubungan antara klien dan terapis demi mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan diri. Kesejahteraan diri dimaksud meliputi : terbebas dari keadaan tertekan, gangguan alam perasaan, kecemasan, berbagai gangguan perilaku khas serta masalah-masalah ketika membangun hubungan dengan orang lain. Dari berbagai definisi dapat disimpulkan bahwa analisis transaksional merupakan model analisis struktur dan fungsi status ego seseorang yang mempengaruhi dirinya dalam membangun transaksi dan interaksi dengan lingkungan dimana seseorang berada. 2. Dasar Filosofi dan Tujuan Analisis TransaksionalAnalisis transaksional (AT) berakar pada sebuah filsafat antideterministik bahwa manusia sanggup melampaui pengondisian dan pemograman awal. Disamping itu, analisis transaksional berpijak pada asumsi-asumsi bahwa setiap orang sanggup memahami putusan-putusan masa lampaunya dan bahwa mereka pun mampu memilih untuk kemudian memutuskan kembali setiap keputusan yang telah dibuat sebelumnya (Covey, 2005). Dengan demikian analisis transaksional meletakkan kepercayaan pada kesadaran dan kesanggupan individu.Sebagai pendiri dan pengembang AT, Berne (Spanceley, 2009) memiliki pandangan optimis tentang hakikat individu, yaitu: a. Individu adalah makhluk yang mempunyai kemampuan untuk hidup sendiri. Individu memiliki potensi untuk mengelola dirinya, termasuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga menjadi pribadi yang otonom dan mandiri, terlepas dari ketergantungan terhadap orang lain. b. Individu adalah makhluk yang memiliki potensi untuk membuat keputusan. Individu mempunyai kemampuan untuk membuat rencana-rencana kehidupan, kemudian memilih dan memutuskan rencana-rencana terbaik bagi dirinya. Rencana-rencana yang telah dibuatnya itu terus dinilai sesuai dengan irama perkembangan hidupnya, sehingga ia dapat memutuskan rencana yang lebih baik lagi bagi kehidupan selanjutnya. c. Individu adalah makhluk yang bertanggung jawab. Individu bukan hanya mampu hidup mandiri dan membuat keputusan untuk dirinya, namun ia juga mampu bertanggung jawab atas pilihan dan putusan yang diambilnya serta konsekuensi yang akan ditimbulkannya. Pandangan ini sangat mempengaruhi usaha-usaha bantuan terapi terhadap klien. Dalam hal hubungan terapis dan klien, maka ciri hubungan idealnya adalah transaksi sejajar (compliment) dalam proses terapi dan keduanya harus sama-sama berbagi tanggung jawab dalam penetapan dan pencapaian tujuan terapi.Berne (1961) kemudian menjadikan argumentasi mengenai hakekat individu tersebut sebagai indikator menunjuk pada istilah OK bagi setiap individu. Oleh sebab itu hubungan diantara individu harus mencapai keadaan OK dengan jalan masing-masing harus mengakui prinsip dasar hakekat individu. Secara garis besar tujuan analisis transaksional dapat dijelaskan (Steiner, 2005) sebagai berikut : a. Mencapai otonomi diri termasuk menggunakan setiap unsur status ego secara sadar dan memadai. b. Membuat setiap individu menjadi akrab dengan metode analisis transaksional. Artinya bahwa pada saatnya akan terjadi pertukaran dalam bentuk transaksi, interaksi dan komunikasi yang sesuai tanpa mengganggu transaksi ciri status ego secara tumpang-tindih dan berlangsung secara spontan (menjadi kebiasaan).Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dasar filosofi AT adalah bahwa manusia merupakan mahluk yang bebas, bertanggungjawab, mandiri dan sanggup melampaui keputusan awal dengan keputusan baru untuk menyongsong perubahan yang lebih baik. Oleh sebab itu konsep AT menggunakan dasar filosofi ini untuk mendudukan kembali fungsi-fungsi manusia sebenarnya melalui bentuk-bentuk transaksi yang seimbang, positif dan OK. 3. Pengertian Beberapa Konsep Utama Analisis TransaksionalKonsep utama merupakan unsur-unsur penting yang melengkapi model analisis transaksional secara keseluruhan. Adapun konsep utama tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :a. Status EgoMenurut Berne (1961) setiap gambaran tingkahlaku yang diperlihatkan individu sebagai manifestasi dari proses psikologis dalam dirinya terbentuk atas proses hasil timbal-balik setelah individu menafsir dan mengolah setiap informasi yang diterima dari dunia di luar dirinya diistilahkan sebagai status Ego atau Ego State.Berne (1961) mula-mula mengategorikan secara garis besar unsur-unsur yang dapat ditemukan dalam kepribadian manusia menjadi tiga jenis status Ego, yaitu, eksteropsikis (“ekstero” berarti “dari luar”), arkeopsikis (“arkeo” berarti “dari dulu”), dan neopsikis (“neo” berarti “dari masa kini”). Eksteropsikis adalah pengaruh psikis dan pengalaman dalam diri seseorang yang didapatkan dari mereka yang pernah membesarkan seseorang sebagai anak kecil, yaitu orangtua dan orang dewasa yang berada di dalam sebuah keluarga. Arkeopsikis adalah pengaruh psikis yang didapatkan dari sisa-sisa pengalaman mereka sebagai seorang anak kecil. Akhirnya, yang dimaksud dengan neopsikis adalah pengalaman baru di dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai orang dewasa yang berpikiran rasional. Setiap individu pasti mendapatkan beberapa pengaruh tersebut dalam ciri kepribadiannya.Istilah-istilah ini dinilai Berne terlalu sulit untuk dimengerti oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, Berne memakai istilah yang lebih mudah untuk dimengerti yaitu pengaruh eksteropsikis disebutnya dengan istilah status Ego Parent atau status Ego Orangtua, arkeopsikis diganti dengan status Ego Child atau status Ego Anak, dan neopsikis dinamai status Ego Adult atau status Ego Dewasa. status Ego yang menjadi karakter seseorang ketika dia melakukan transaksi dengan yang lainnya dapat diketahui dari caranya dalam berkomunikasi, seperti pada kalimat yang diungkapkannya dan bagaimana cara dia berbicara.Istilah status Ego berbeda dari istilah status Ego menurut pandangan Sigmund Freud (Boeree, 2006), yaitu id, ego dan super-ego. Karena bukan merupakan construct sebagaimana ciri status Ego Freud, maka bagian status Ego Berne adalah yang dapat diamati dengan indera dan merupakan bagian dari kenyataan fenomenologis (Harris, 1992).1) Klasifikasi Status EgoStatus ego terbentuk dalam diri seseorang melalui pengalaman-pengalaman membekas dalam diri yang terbawa sejak masa kecilnya. Pengalaman tersebut meliputi pendapat, pandangan, sikap, hasil mencontoh perilaku Orangtua – para tokoh atau orang penting, yang mempengaruhi kehidupannya.Ketiga status Ego ini akan menjadi bagian yang digunakan setiap orang dalam berinteraksi dengan orang lain. Dalam pandangan Harris (1992), proses tersebut muncul karena adanya pemutaran berulang setiap data kejadian baik menyangkut orang, waktu, keputusan, atau perasaan yang nyata pada waktu-waktu lalu yang hingga kini masih tersimpan. Setiap inisial status ego yang ditulis dengan huruf kapital (P-A-C), dimaksudkan untuk menunjuk pada status ego tidak aktif atau untuk menjelaskan ketiga status ego secara statis. Sebaliknya inisial status ego yang ditulis dengan huruf p-a-c, menunjuk bahwa yang dimaksud adalah status ego aktif.a) Status ego Orangtua (Parent)Jika individu merasa dan bertingkah laku sebagaimana Orangtuanya dahulu, maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut dalam keadaan status ego Orangtua. Status ego Orangtua merupakan suatu kumpulan perasaan, sikap, pola-pola tingkah laku yang mirip dengan bagaimana Orangtua individu merasa dan bertingkah laku terhadap dirinya. Ada dua bentuk sikap Orangtua, yaitu: (1) Orangtua Pengritik (Critical Parent). Status ego Orangtua Pengritik secara keseluruhan adalah ekspresi pikiran dan perasaan seseorang dari sifat menghakimi. Orang yang memiliki status ego Orangtua Pengritik cenderung menyampaikan pesan larangan dan penilaian ketika menyampaikan pesan atau sesuatu kepada orang lain (Graham, 2009). Ungkapan-ungkapan dari status ego Orangtua Pengritik lebih bersifat pendapat atau opini mengenai sesuatu dan cenderung mengkritik atau menilai tanpa menerima alasan atau pembelaan dari lawan bicaranya, termasuk menolak memberikan solusi pemecahan masalahnya. Contoh: “Kamu bodoh, menyetrika baju saja kamu tidak bisa.” (2) Status Ego Orangtua Pembimbing (Nurtural Parent). Berbeda dengan status ego Orangtua Pengritik, status ego Orangtua Pembimbing cenderung berisi ungkapan pengertian dan kasih sayang. Sifat utamanya adalah layaknya orangtua yang baik, di antaranya adalah mengajarkan, mendukung, memberi bimbingan dan bahkan menentukan peraturan pada orang lain (Graham, 2009). Ekspresi wajah yang ditampilkan oleh orang dengan status ego Orangtua Pembimbing lebih terlihat tenang dan intonasi suara lembut. Contoh dari ungkapan status ego ini adalah: “Saya akan mengajari anda cara membuat laporan dengan benar, setelah itu silahkan anda mencoba untuk buat sendiri laporannya. Saya yakin Anda pasti bisa.”b) Status Ego Dewasa (Adult)Jika individu bertingkah laku secara rasional, melakukan testing realita, maka individu tersebut dikatakan berada dalam status ego Dewasa. status ego Dewasa dapat dilihat dari tingkah laku yang bertanggung jawab, tindakan yang rasional dan mandiri. Sifat status ego Dewasa adalah obyektif, penuh perhitungan dan menggunakan akal.c) Status ego Anak (Child)Status ego Anak berisi perasaan, tingkah laku dan bagaimana berpikir ketika masih kanak-kanak dan berkembang bersama dengan pengalaman semasa kanak-kanak. Jika individu melakukan, berperasaan, bersikap seperti yang dilakukan pada masa kanak-kanak, maka individu tersebut dalam kaadaan status ego Anak. status ego Anak dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu: (1) Status Ego Anak yang menyesuaikan (Adapted Child) Anak menyesuaikan diwujudkan dengan tingkah laku yang dipengaruhi oleh orangtuanya. Hal ini dapat menyebabkan anak bertindak sesuai dengan keinginan Orangtuanya seperti penurut, sopan dan patuh, sebagai akibatnya, anak akan menarik diri, takut, manja dan kemungkinan mengalami konflik. (2) Status Ego Anak yang Bebas (Free Child) Anak yang wajar akan terlihat dalam tingkah lakunya seperti lucu, tergantung, menuntut, egois, agresif, kritis, spontan, tidak mau kalah dan pemberontak.2) Diagnosis status EgoAda empat cara untuk menentukan status ego sebagaimana dikemukakan oleh Berne (1961), yaitu : diagnosis perilaku, diagnosis sosial, diagnosis historis, dan diagnosis fenomenologi. Namun penekanannya lebih diarahkan pada diagnosis perilaku. a) Diagnosis perilaku, yaitu menilai ciri-ciri status ego melalui kata-kata, intonasi suara, tempo bicara, ekspresi, postur, gerakan badan, pernafasan dan gerakan otot dapat menjadi tanda dalam mendiagnosis status ego. b) Diagnosis sosial, yaitu mengamati ciri status ego seseorang melalui bentuk interaksi yang dilakukan terhadap orang lain. c) Diagnosis historis. Latar belakang dan gambaran masa lalu seseorang merupakan target pendiagnosis ini. Jika seseorang berpikir, merasa dan bertindak didominasi oleh status ego tertentu dan apa yang dimunculkan ternyata memiliki kesesuaian dengan kehidupan di masa lalu maka jelas bahwa secara historis wujud status ego telah terpenuhi. d) Diagnosis fenomenologis. Teknik diagnosis ini muncul ketika pengalaman masa silam menjadi bagian dari ingatan seseorang. Artinya diagnosis ini memfokuskan pada kemampuan uji-diri (self-examination). Kadang seseorang mampu secara akurat memastikan bahwa yang aktif dalam dirinya adalah status ego Anak, namun kadang juga sebaliknya bahwa yang semula status ego Anak ternyata status ego Dewasa. 3) Pencemaran dan Eksklusi Status EgoPencemaran atau kontaminasi status ego merupakan suatu situasi dimana batas antara status ego yang satu dengan status ego lainnya lemah, sehingga status ego tertentu mengalami pencemaran atau terpengaruh oleh status ego yang lain (Berne, 1961). Kontaminasi dapat terjadi pada status ego Orangtua ke Dewasa dan dari status ego Anak ke Dewasa. Kontaminasi juga dapat terjadi secara ganda, yaitu jika status ego Orangtua dan Anak mencemari status Ego Dewasa secara bersamaan.Keadaan eksklusi (exclusive) terjadi jika seseorang tanpa sadar sering memperagakan penggunaan salah satu status ego dalam waktu lama atau menetap, sehingga kurang memberi kesempatan kepada status ego lainnya untuk berekspresi (Berne, 1961; de Blot, 2002). Sebagai contoh misalnya, penggunaan status ego Orangtua sehingga individu sering terlihat selalu menunjukkan perilaku menasehati, marah, membatasi, menunjukkan kewibawaan berlebihan, dan menghardik. Penggunaan status ego Dewasa secara tepat dapat mengarahkan individu untuk mempertimbangkan situasi yang sesuai menunjukkan kewibawaan, menasehati, marah, membatasi ataupun menghardik. Demikian halnya bila disadari, penggunaan status ego Anak akan membantunya untuk tidak selalu dengan ciri status ego Orangtua tetapi dapat menunjukkan perilaku bergurau, humor, atau dengan cara bermohon (de Blot, 2002). Individu dikatakan memiliki ciri kepribadian yang baik jika status Ego dewasa dapat menjadi pengendali dari ketiga status ego secara efektif dan sehat (Boholst, 2002). 4) EgogramEgogram merupakan sejenis peraga untuk merekam sejauhmana fungsi status ego aktif yang tergambar melalui perilaku seseorang. Dussay (1984) menggambarkan rekaman setiap status ego seseorang menjadi semacam grafik yang dibuat secara intuitif. Egogram ini terdiri dari sebuah garis kolom dibagi lima untuk masing-masing fungsi status ego. Gambar 2 memperlihatkan egogram yang terdiri dari lima kotak sesuai status ego individu, sehingga hasil imajinasi seseorang terhadap status ego pribadinya akan menunjukkan kolom status ego mana yang menonjol terhadap kolom status ego lainnya.
Tiap-tiap kolom status ego akan bertambah naik bila secara intuitif seseorang merasakan bahwa status ego tersebut semakin bertambah kuat dalam dirinya. Analisis transaksional dalam penerapannya berupaya membangun pengetahuan setiap individu untuk mengenal saat mana pikiran, perasaan dan tingkahlaku mereka menggambarkan status ego tertentu, disamping memberikan kesadaran mengenai apakah ada status ego tertentu yang mendominasi atau yang perlu dioptimalkan. b. Strokes Sebuah premis dasar dari pendekatan analisis transaksional adalah bahwa manusia membutuhkan pengakuan baik secara fisik maupun psikologis untuk mengembangkan rasa percaya diri dan sebagai dasar untuk mencintai diri sendiri serta orang lain. Ada banyak bukti bahwa kurangnya kontak fisik dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bayi, dan dalam kasus ekstrim dapat menyebabkan kematian (Berne, 1961; Corey, 2005; Joines, 2005). Individu dalam tumbuh kembangnya membutuhkan pengakuan dan perhatian, ini disebut sebagai Stroke. Stroke adalah setiap tindakan pengakuan atau yang menjadi sumber rangsangan yang diberikan atau ditawarkan seseorang kepada orang lain. Jenis-jenis Stroke dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Verbal atau nonverbal, jenis Stroke ini menggambarkan adanya pertukaran perhatian dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk gerakan. Macam-macam bentuk perhatian verbal misalnya : ungkapan memuji, melecehkan, menghargai, ataupun mengkritik; bentuk perhatian non-verbal misalnya: berjabat tangan, pelukan, sentuhan, kedipan mata ataupun ekspresi senyuman atau cara berpenampilan. Kadang-kadang sulit membedakan antara Stroke verbal dan non-verbal. 2) Tanpa syarat atau bersyarat. Contoh Stroke bersyarat seperti : "Aku menyukai dirimu asalkan..." sedangkan Stroke tanpa syarat: "Aku mencintaimu karena aku sayang kamu." 3) Stroke positif atau negatif. Sebuah bentuk perhatian yang menyenangkan yang diberikan atau diterima seseorang seperti : sentuhan fisik, kata-kata menerima, penghargaan, senyum, dan keramahan disebut stroke positif. Sebaliknya bila yang diterima menyakitkan seperti: diabaikan, dikritik ataupun dilecehkan maka disebut stroke negatif. Menariknya stroke negatif dianggap lebih baik daripada tidak mendapatkan stroke sama sekali (Covey, 2005). c. Analisis Transaksi Setiap apa yang dipertukarkan atau diekspresikan oleh masing-masing individu dalam berinteraksi disebut Transaksi (Berne, 1961; Stewart, 1996; Covey, 2005; Joines, 2005). Transaksi dapat terjadi secara verbal (transaksi sosial) dan non-verbal (transaksi psikologik) yang terjadi dalam transaksi terselubung. Terdapat tiga bentuk transaksi dalam kaitannya dengan interaksi yang terjadi antara dua individu (Berne, 1961), yaitu : transaksi sejajar (saling mengisi), transaksi silang dan transaksi terselubung. 1) Transaksi sejajar (Complimenter Transaction). Transaksi ini dapat terjadi jika diantara stimulus dan respon mengalami kesesuaian atau kecocokan, tepat dan memang diharapkan, sehingga transaksi ini akan berjalan lancar. Misalnya, pembicaraan antara dua individu yang sama-sama menggunakan status ego Orangtua, Dewasa atau Anak. Misalnya: “Wah, sekarang untuk masuk sekolah sulitnya bukan main?” (Parent ke Parent). “Betul, saya kemarin beli formulirnya saja sudah susah!” (Parent ke Parent). “Apakah laporan itu telah selesai dibuat?” (Adult ke Adult). “Ya, nanti akan saya kirimkan ke anda lewat email.” (Adult ke Adult). “Maukah kamu kesini nonton film bersamaku?” (Child ke Child). “Pasti mau – apakah aku harus kesana sekarang?” (Child ke Child) 2) Transaksi silang (Crossed Transaction). Transaksi ini terjadi jika diantara stimulus dan respon tidak cocok atau berlangsung tidak sebagaimana yang diharapkan oleh salah satu pihak atau bahkan keduanya. Biasanya komunikasi semacam ini akan cenderung terganggu atau tidak OK. Misalnya : “Waduh, badanku kok terasa nggak enak ya?” (Adult ke adult). “Makanya jangan ambisius dan ngoyo cari uang!” (Parent ke Child). 3) Transaksi tersembunyi (Ulteration Transaction). Transaksi ini terjadi jika antara dua status ego beroperasi bersama-sama, meliputi transaksi Dewasa diarahkan ke Dewasa, akan tetapi melalui pesan tersembunyi dari yang sebenarnya; misalnya Dewasa ke Anak, atau Orangtua ke Anak. Misalnya : “Aduh bu, anak saya yang di TK sekarang ngambek!” (Parent ke Parent). “Biasa, namanya saja anak yang gede sering malas.” (Adult ke Child) Bentuk-bentuk transaksi tersebut akan menjadi pilihan setiap individu dalam mengadakan interaksi-komunikasi dengan individu lain dan konsekuensi dari bentuk-bentuk transaksi akan tergambar seperti (Berne, 1961): (1) jika model transaksi yang digunakan lebih banyak bersifat complementer, maka akan sering timbul masalah, yaitu kebosanan; (2) jika individu dalam berkomunikasi lebih banyak menggunakan transaksi silang, maka akan cenderung timbul perasaan tidak senang karena respon yang didapat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Akan tetapi transaksi ini dapat digunakan untuk mengalihkan atau menghentikan pembicaraan yang tidak bermutu atau yang bertele-tele; (3) interaksi terselubung jauh lebih rumit jika digunakan, karena menggunakan lebih dari satu bentuk status ego. Ciri lainnya dalam interaksi ini adalah sering menggunakan bahasa tersirat (ironi) dan biasanya menggunakan transaksi non-verbal, misalnya gerakan badan, ekspresi wajah dan sikap. d. Keputusan (Decision) dan Keputusan Ulang (Redecisions) Analisis transaksional menekankan kemampuan individu untuk menyadari keputusan yang mengatur perilakunya dan kemampuan untuk mengambil inisiatif mengubah kembali arah hidupnya menjadi lebih efektif melalui keputusan baru. Uraian ini membahas keputusan yang dibuat sebagai respons terhadap perintah Orangtua dan kontra-perintah yang merupakan penjelasan awal dari proses redecisional. Goulding (Covey, 2005) menyusun daftar perintah umum yang sering dilakukan para Orangtua terhadap anak-anak mereka dengan kemungkinan penyusunan keputusan kembali sebagai bentuk tanggapan anak terhadap orangtua. 1) “Jangan melakukan kesalahan.” Anak-anak yang mendengar dan menerima pesan ini sering takut mengambil risiko yang dapat membuat mereka terlihat bodoh. Mereka cenderung menyamakan kesalahan dengan kegagalan. Kemungkinan keputusan: “Daripada membuat keputusan tetapi salah, lebih baik jangan pernah memutuskan sesuatu.” Anak akan cenderung memilih untuk berpikir, bahwa membuat keputusan adalah bodoh karena tetap saja salah dan tidak pernah akan dinilai sempurna. Dengan tidak membuat keputusan, maka masih terdapat kesempatan untuk menjadi sempurna karena tidak melakukan kesalahan. 2) “Jangan!” Pesan mematikan ini sering diberikan dalam bentuk non-verbal oleh orangtua secara terus menerus kepada anaknya. Pesan dasar "Aku berharap kau tidak dilahirkan." Kemungkinan keputusan: "Aku akan terus mencoba sampai aku mendapatkan kau mencintaiku." 3) “Jangan menjadi akrab.” Terkait dengan perintah ini adalah pesan "Jangan percaya" dan "Jangan pernah menyintai." Kemungkinan keputusan: "Cukup sekali aku dicintai, begitu menyakitkan dan aku berjanji untuk tidak lagi mengenal perasaan dan kata cinta.” "Pedih bila membayangkan untuk dekat lagi dengan seseorang, biarkan aku sendiri untuk selamanya,” 4) “Jangan merasa penting.” Jika ungkapan atau pembicaraan seorang anak diabaikan atau tidak pernah diperhatikan, akan menumbuhkan perasaan bahwa apa yang dimilikinya tidak pernah akan dianggap penting dan berguna bagi orang lain. Kemungkinan keputusan: "Apapun prestasi yang aku lakukan itu tidak penting.” “Keberhasilan yang aku lakukan ini, itu hanyalah kebetulan saja.” 5) “Jangan seperti anak-anak.” Pesan ini bermaksud menyampaikan: "Selalu bertindak dewasa!" "Jangan kekanak-kanakan." "Tetaplah kontrol diri." Kemungkinan keputusan: "Aku akan mengurus orang lain dan tidak akan berharap banyak dari diriku sendiri." "Aku tidak akan membiarkan diriku bersenang-senang. 6) Jangan berkembang. Pesan ini disampaikan berdasarkan ketakutan yang dirasakan orangtua dan tidak ingin anaknya tumbuh dewasa dengan cara lain yang tidak diinginkannya. Kemungkinan keputusan: "Aku akan tetap mempertahankan ciri selaku seorang anak, dengan begitu aku akan tetap mendapatkan belaian dan persetujuan Orangtua." 7) “Jangan berhasil.” Jika anak-anak secara positif diperkuat untuk gagal, mereka dapat menerima pesan bukan untuk mencari kesuksesan. Kemungkinan keputusan: "Aku tidak akan pernah melakukan apa pun yang cukup sempurna, jadi kenapa harus mencoba?". "Kalaupun aku tidak berhasil, aku masih tetap mendapatkan perhatian karena akan terus dibimbing dan diarahkan,” akibatnya akan berlanjut pada ketakutan untuk memutuskan sesuatu karena takut salah dan gagal serta tidak lagi akan diperhatikan oleh orang lain. 8) “Jangan menjadi dirimu.” Ini menyarankan untuk mengarahkan anak berpikir bahwa mereka tidak sebagaimana yang diharapkan. Ungkapan ini disampaikan orangtua karena alasan-alasan bahwa anak yang diimpikan berbeda dengan yang ada saat ini, baik berupa jenis kelamin, bentuk, ukuran, warna kulit, ciri-ciri inteligensi dan sebagainya. Kemungkinan keputusan: "Mereka akan mencintai aku hanya jika aku seorang anak laki-laki atau perempuan sesuai harapan mereka, sehingga tidak mungkin untuk mendapatkan cinta mereka." "Aku akan berpura-pura menjadi anak laki-laki atau perempuan agar sesuai dengan harapan mereka. 9) “Jangan waras atau Jangan terlihat sehat.” Sebagian anak-anak mendapat perhatian hanya ketika mereka secara fisik labil, sakit atau menunjukan perilaku yang tidak biasanya. Kemungkinan keputusan: "Aku akan sakit, atau berperilaku seperti tidak biasanya. Dengan begitu aku akan tetap mendapatkan kasih sayang orangtua." 10) “Jangan merasa memiliki.” Perintah ini dapat menunjukkan bahwa orangtua menganggap anak tidak punya hak untuk merasa memiliki. Kemungkinan keputusan: "Aku akan menjadi seorang penyendiri selamanya." "Aku tidak akan pernah punya tempat." Apa pun perintah yang pernah diterima dan menghasilkan keputusan hidup tetapi berakibat tidak efektif dengan kenyataan hidup yang dialami, dalam pandangan analisis transaksional harus di rubah dan diputuskan kembali. Inilah dasar redecisional atau mengubah setiap keputusan yang pernah dibuat. Klien didorong untuk mempelajari kembali apa yang telah dipelajarinya ketika masa kanak-kanak dahulu. e. Posisi Hidup (Life Position) dan Latar Kehidupan (Life Scripts) Analisis transaksional menurut Berne (Boholst, 2002) terdiri dari empat dasar posisi kehidupan, yang semuanya didasarkan pada keputusan yang dibuat sebagai akibat dari pengalaman masa kanak-kanak, dan yang menentukan bagaimana orang-orang berpikir dan merasa mengenai diri mereka serta bagaimana mereka membangun hubungan dengan orang lain: 1) Aku OK - Kamu OK (I’m OK – Your OK) Posisi ini merefleksikan bahwa individu mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan percaya pada orang lain. Individu tidak merasa khawatir bila berhubungan dengan orang lain. 2) Aku OK – Kamu Tidak OK (I’m OK – You’re not OK) Posisi ini merefleksikan bahwa individu membutuhkan orang lain akan tetapi tidak ada yang dianggap cocok, individu merasa superior, merasa mempunyai hak untuk memanipulasi orang lain demi kepentingannya sendiri. 3) Aku tidak OK – Kamu OK (I’m not OK – You’re OK) Posisi ini merefleksikan bahwa individu merasa tidak terpenuhi kebutuhannya dan merasa bersalah. Posisi ini sering membuat seseorang mengalami keadaan depresif karena perasaan bersalah, inferior, tidakpercaya dengan kemampuan yang dimiliki hingga memunculkan ketakutan dan cemas. 4) Aku tidak OK – Kamu Tidak OK (I’m not OK – You’re not OK) Posisi ini merefleksikan bahwa dirinya merasa lemah tidak baik dan orang lain pun juga tidak baik, karena tidak ada sumber belaian atau perhatian yang positif, individu akan menyerah dan merasa tidak berdaya. Script dibentuk oleh aturan, arahan dan perintah yang diterima individu dimasa lalu yang dilakukan oleh orangtua atau figur orangtua individu. Unsur-unsur dalam script akan memberi pengaruh pada cara individu menghayati kehidupannya (Boholst, 2002). f. Games Serangkaian peristiwa transaksi dan Stroke yang bermasalah dan terjadi secara berulang namun tidak pernah disadari, maka akan berdampak buruk serta mempengaruhi kehidupan seseorang (Berne dalam Spanceley, 2007). Pengalaman-pengalaman inilah yang akan menjadi target game, dimana individu akan diarahkan untuk terlibat dalam sebuah drama menghayati perjalanan kehidupannya. Dengan kata lain, game merupakan sarana menyadarkan individu dari agenda-agenda tersembunyi yang selama ini membatasi kehidupannya. Sebuah game menurut Berne (1964) akan terdiri atas tiga posisi: 1) Penganiaya (Persecutor). Ciri-ciri seseorang dengan pola penganiaya adalah: terlalu ketat membatasi diri pada hal-hal yang tidak perlu, suka mengritik, sering mengecilkan kapasitas orang lain, selalu bersikap kaku, berpegang teguh pada kewibawaan diri, menyuruh dan marah, dan merupakan pola yang sering tergambar pada status ego orang tua pengkritik. 2) Penyelamat (Rescuer). Ciri-ciri seseorang dengan pola penyelamat adalah: suka membantu dan menolong sekalipun terpaksa, akan merasa bersalah jika tidak berusaha membantu dan menolong, cenderung bersifat tergantung pada orang lain, permissive, terlalu bersikap lembut, dan merupakan pola yang sering tergambar pada status ego orang tua pembimbing. 3) Korban (Victim). Ciri-ciri seseorang dengan pola korban adalah: merasa menjadi korban dalam setiap peristiwa, merasa tertindas, tak berdaya, putus asa, dan merasa sulit untuk terbebas dari setiap tekanan, ketegasan diri kurang, merasa tidak mampu membuat keputusan, kesulitan mencapai kesenangan subyektif dan pemahaman diri kurang, serta merasa sering ditolak. Game merupakan sarana menilai ciri kepribadian individu. Sarana ini kemudian akan membantu menyadari karakteristik yang mempengaruhinya ketika mengalami hambatan- hambatan psikologis. Hambatan-hambatan psikologi ini merupakan akumulasi dari pengalaman script, decisional serta kecenderungan secara kaku menggunakan status ego tertentu.


sunber:

Tuesday, April 16, 2013

Logoterapi (sebuah Pendekatan Eksistensialis)


Bagian I.
Di Wina Austria, Victor Emil Frankl dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1905 dari keluarga Yahudi yang sangat kuat memegang tradisi, nilai-nilai dan kepercayaan Yudaisme. Hal ini berpengaruh kuat atas diri Frankl yang ditunjukkan oleh minat yang besar pada persoalan spiritual, khususnya persoalan mengenai makna hidup. Di tengah suasana yang religius itulah Frankl menjalani sebagian besar hidupnya.
Dalam bagian pertama buku “Man’s Seach for Meaning” (Frankl, 1963), mengisahkan penderitaan Frankl selama menjadi tawanan Yahudi di Auschwitz dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya. Kehidupannya selama tiga tahun di kamp konsentrasi adalah kehidupan yang mengerikan se cara kejam. Setiap hari, ia menyaksikan tindakan-tindakan kejam, penyiksaan, penembakan, pembunuhan masal di kamar gas atau eksekusi dengan aliran listrik. Pada saat yang sama, ia juga melihat peristiwa-peristiwa yang sangat mengharukan; berkorban untuk rekan,kesabaran yang luar biasa, dan daya hidup yang perkasa. Di samping para tahanan yang berputus asa yang mengeluh, “mengapa semua ini terjadi pada kita? “, mengapa aku harus menanggung derita ini?”, ada juga para tahanan yang berpikir “apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti ini?”. Yang pertama umumnya berakhir dengan kematian, dan yang kedua banyak yang lolos dari lubang jarum kematian.
Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), hal yang membedakan keduanya adalah pemberian makna. Pada manusia ada kebebasan yang tidak bisa dihancurkan bahkan oleh pagar kawat berduri sekalipun. Itu adalah kebebasan untuk memilih makna. Sambil mengambil pemikiran Freud tentang efek berbahaya dari represi dan analisis mimpinya, Frankl menentang Freud ketika dia menganggap dimensi spiritual manusia sebagai sublimasi insting hewani. Dengan landasan fenomenologi, Frankl membantah dan menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya diakibatkan oleh proses psikis saja. Menurutnya, pemberian makna berada di luar semua proses psikologis. Dia mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut dengan Logoterapi (berasal dari kata Yunani “Logos” yang berarti “makna”).
Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis, spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan fisik dan psikilogis. Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan(Jalaluddin Rahmat, 2004).
Frankl menyebut dimensi spiritual sebagai “noos” yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-orientasi tujuan kita, kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang fisik psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali superego, secara humor kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasa diri kita atau kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang kita yakini. Dalam dunia spiritual, kita tidak dipandu, kita adalah pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar kita. Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan spiritual ini.

Bagian II.
 Peradaban Barat modern dengan revolusi industri yang membuat suatu syndrome kehampaan (emptyness) eksistensial dengan ditandai oleh kebosanan, kehampaan, ketiadaan tujuan, masyarakat mengalami dehumanisasi, yang tidak peduli terhadap apa yang akan dilakukan dalam hidup. Semuanya berasal dan datang dari kondisi masyarakat yang tidak menguntungkan. Revolusi industri menjadikan seorang pekerja mengabdi kepada kepentingan majikan, dan kehilangan semua hubungan dengan barang yang diproduksinya. Hilangnya hubungan pribadi (individualisme, permisifisme), tidak adanya pandangan bersama mengenai kehidupan yang lebih baik di masa depan, lebih mengutamakan suatu hal yang bersifat materi (Materialisme, kapitalisme, hedonisme), dan mengabaikan hal-hal yang spiritual. Erich Fromm (1988) menyatakan bahwa banyak orang merasa dirinya seperti komoditi yang diperjualbelikan dan pada saat berikutnya menjadi penjaja komoditi. Dunia Barat kontemporer telah menghasilkan manusia hampa yang mencari makna. Jika di masa lalu orang neurotik itu diibaratkan seperti orang patah kaki, maka dalam dunia modern, seorang neurotik umumnya adalah orang yang memiliki dua kaki sempurna tetapi tidak tahu ke mana kaki itu harus pergi melangkah???
Dalam hidup ini ada beberapa ancaman sebagai penyebab “kecemasan eksistensial”, hal ini merupakan aspek terpenting yang menentukan apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan, adalah “pertama” kematian: kita semua adalah makhluk yang fana’, kematian sewaktu-waktu akan datang menjemput kita. “Kedua”, takdir, garis kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bias diramalkan atau dikendalikan. */Ketiga/*, keharusan untuk membuat pilihan mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga cara; a). kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa informasi yang cukup, b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung untuk mencari bimbingan dari sumber transcendental yang lebih tinggi, c). menjatuhkan pilihan berarti mengabaikan pilihan lainnya (Zainal Abidin, 2002).
Gambaran tentang adanya kecemasan eksistensial ini dapat kita jumpai misalnya yang terjadi di kalangan mahasiswa, tampak kecenderungannya untuk hidup demi kepuasan sesaat, penggunaan Narkotika, hidup hura-hura, berpesta pora, pergaulan bebas, sampai seks bebas, kegairahan yang besar terhadap unsur-unsur fisik (hedonisme) merupakan bukti adanya krisis kebermaknaan hidup. Pemuasan pada kepuasan sementara hanya merupakan “penamba” pada kekosongan dan kebosanan yang berakar dari ketiadaan makna? Untuk apa mereka hidup?
Hilangnya makna, kehampaan eksistensial yang lazim terjadi di zaman modern sekarang ini dalam buku “Man’s seach for meaning” (Frankl, 1963) dijelaskan bahwa mereka tersebut tidak sendirian menghadapi hidup yang tak bermakna, mereka pada dasarnya merupakan bagian dari “invisible community” yang mengalami kehampaan serupa. Frankl memberi pesan bahwa kita harus memiliki keberanian dan kesabaran. Yakni keberanian untuk membiarkan masalah ini untuk sementara waktu tak terpecahkan, dan kesabaran untuk tidak menyerah dan mengupayakan penyelesaian.
Inti ajaran Frankl adalah pandangan bahwa menjalani hidup dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu. Motivasi utama dari manusia adalah untuk menemukan tujuan itu, itulah makna hidup. Pencarian makna yang kita lakukan merupakan fenomena kompleks yang membutuhkan penggalian, dan untuk memahaminya kita harus “menjalaninya”. Tentang “makna” menurut Zainal Abidin (2002), ada dua hal yang perlu diperhatikan;
Pertama, makna tidak sama dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah suatu proses yang menjadikan kita seperti adanya kita, dimana kita mengembangkan dan menyadari cetak biru (blue-print) dari potensi dan bakat kita sendiri. Namun, meski seseorang sanggup sepenuhnya mengembangkan potensinya, belum tentu ia telah memenuhi makan hidupnya. Makna tidak terletak pada diri kita, melainkan terletak di dunia luar. Kita tidak menciptakan makna, atau memilihnya, melainkan harus menemukannya. Dengan kata lain, untuk dapat menemukan makna kita harus ke luar dari persembunyian dan menyongsong tantangan di luar sana yang memang ditujukan kepada kita. Tujuan/makna adalah sesuatu yang “transcendental”, sesuatu yang berada di luar “pemiliknya” (Frankl, 1963). Maka ketika seseorang mencari bimbingan untuk menjatuhkan pilihanya, tidak akan ia menjumpai kekosongan, tetapi ia menemukan makna hidupnya pada sesuatu di luar atau di atas dirinya. Hidup tidaklah semata mengarahkan diri pada realisasi diri ataupun sesuatu dalam diri kita, melainkan mengarahkan diri pada makna yang harus kita penuhi. Dengan begitu “kefanaan” menjadi kurang menakutkan. Maknalah yang memelihara hidup kita. “Melekatkan diri pada sesuatu yang melebihi usia hidup memberi manusia suatu keabadian”
Keterasingan dari dunia, lantaran cara hidup serba mekanis, menjadi berkurang ketika kita tahu bahwa kita berada di dunia untuk suatu tanggung jawab yang mesti dipenuhi. Manusia mampu bertahan hidup di gurun yang sangat tandus, jika gurun tersebut menawarkan suatu tugas yang harus dipenuhi. Sebaliknya ada orang yang mati bunuh diri minum racun di istana mewah karena tidak tahu untuk apa dia hidup.
Kedua, hidup setiap orang memiliki makna yang unik, setiap orang memiliki peran unik yang harus dipenuhi atau diperankan, suatu peran yang tak dapat digantikan oleh orang lain. Setiap orang lahir ke dunia ini mewakili sesuatu yang baru, yang itu tidak ada sebelumnya. Sesuatu yang original dan unik. Tugas setiap orang adalah untuk memahami bahwa tidak pernah ada seorang pun serupa dirinya, karena jika memang pernah ada seseorang yang serupa dengan dirinya, maka ia tidak diperlukan. Setiap orang adalah sesuatu yang baru, dan harus memenuhi suatu tugas dan panggilan mengapa ia diciptakan di dunia ini (Buber dalam Zainal Abidin, 2002).

Bagian III.
 Pengembaraan dalam mencari eksistensi kita, dapat kita temukan ketika kita berupaya memahami makna hidup kita sendiri. Saat kita menyadari dalam hal apa kita adalah unik. Berbeda dari orang lain, tugas unik apa yang telah kita penuhi, yakni suatu tugas yang hanya dapat dipenuhi oleh seorang seperti “aku”, dan tidak ada seorang pun yang sama seperti aku. Penemuan makna memberi kita suatu pemahaman mengenai takdir, semua kegembiraan dan kesedihan tampak menjadi bagian yang sesuai dari keseluruhan riwayat hidup kita. Ibarat kepingan-kepingan /”keramik”/ yang membentuk sebuah “mozaik” perjalanan hidup kita. Setiap kepingan-kepingan tersebut pasti bermanfaat, tidak ada yang sia-sia. Setiap peristiwa adalah satu langkah yang mendekatkan kita untuk menjadi manusia sepenuhnya, yang memenuhi suatu “peran” yang memang “hanya” untuk kita.
Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah jalan hidup kita -menyusun kembali hidup kita yang porak poranda-, yaitu:
1. Makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (self discovery)
2. Makna muncul ketika kita menentukan pilihan, hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam suatu keadaan, ketika kita tidak dapat memilih
3. Makna dapat kita temukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain
4. Makna membersit dalam tanggung jawab
5. Makna mencuat dalam situasi transendensi, gadungan dari keempat hal di atas, ketika mentransendensikan diri kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita.
Transendensi adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar dari pengalaman kita yang biasa, ke luar dari suka dan duka kita, ke luar dari diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir “the ultimate meaning” yang menyadarkan kita akan “aturan Agung” yang mengatur alam semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti rancangan besar “grand design” yang ditampakkan kepada kita. Inilah dimensi spiritual dari ajaran logoterapi Victor E. Frankl. Hanna Djumhana Bastaman (1994), menyimpulkan tentang logoterapi berpandangan bahwa manusia dengan kesadaran dirinya mampu melepaskan diri dari ancaman-ancaman pengaruh lingkungan dan berbagai bentuk kecenderungan alami ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu dalam dirinya sendiri. Dengan logoterapi kita dapat menemukan hasrat hidup bermakna “the will to meaning” sebagai motif dasar manusia, yang berlawanan dengan hasrat hidup senang (the will to pleasure dari Freud, dan hasrat hidup berkuasa the will to power-nya Alfred Adler. Dalam pandangan logoterapi the will to pleasure merupakan hasil (by product) dan the will to power merupakan sarana untuk memenuhi the will to meaning.
Menurut ajaran logoterapi, bahwa kehidupan ini mempunyai makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaaan sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini, Manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna hidup, yakni melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati -termasuk cinta kasih-, atau dalam setiap sikap yang diambil terhadap keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin terelakkan. Manusia dihadapkan dan diorientasikan kembali kepada makna, tujuan dan kewajiban hidupnya. Kehidupan tidak selalu memberikan kesenangan kepada kita, tetapi senantiasa menawarkan makna yang harus kita jawab. Tujuan hidup buka nlah untuk mencapai keseimbangan tanpa tegangan, melainkan sering dalam kondisi tegangan antara apa yang kita hayati saat ini dengan prospek kita di masa depan. Logoterapi memperteguh daya tahan psikis kita untuk menghadapi berbagai kerawanan hidup yang kita alami. Dalam prakteknya logoterapi dapat mengatasi kasus fobia dengan menggunakan teknik “paradoxical intention”, yaitu mengusahakan agar orang mengubah sikap dari yang semula memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self detachment) terhadap keluhan sendiri, kemudian memandangnya secara humoritas. Logoterapi juga dapat diterapkan pada kasus-kasus frustasi eksistensial, kepapaan hidup, kehampaan hidup, tujuannya adalah membantu kita untuk menyadari adanya daya spiritual Yang terdapat pada setiap orang, agar terungkap nyata (actual) yang semula biasanya ditekan (repressed), terhambat (frustasi) dan diingkari. Energi spiritual tersebut perlu dibangkitkan agar tetap teguh menghadapi setiap kemalangan dan derita.
Dalam kehidupan, mungkin hasrat hidup bermakna sebagai motif utama tidak dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan orang melihat, bahwa dalam kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang sifatnya potensial, yang perlu disadari dan ditemukan, keadaan ini menimbulkan semacamfrustasi yang disebut frustasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi oleh penghayatan tanpa makna (meaningless). Gejala-gejalanya sering tidak terungkapkan secara nyata, karena biasanya bersifat “latent” dan terselubung. Perilaku yang biasanya merupakan selubung frustrasi eksistensial itu sering tampak pada berbagai usaha kompensasi dan hasrat yang berlebihan untuk berkuasa, atau bersenang-senang, mencari kenikmatan duniawiyah (materialisme). Gejala ini biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang, manic-bekerja (wokerholic), free sex, dan perilaku hedonisme lainnya.
Frustrasi eksistensial akan terungkap secara eksplisit dalam penghayatan kebosanan dan sifat apatis. Kebosanan merupakan ketidakmampuan sesorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatisme merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa (inisiatif). frustrasi eksistensial adalah identik dengam kehampaan eksistensial, dan merupakan salah satu factor yang dapat menjelmakan neurosis. Neurosis ini dinamakan “neurosis noogenik”, karena karakteristiknya berlainan dengan neurosis yang klinis konvensional. Neurosis noogenik tidak timbul sebagai akibat adanya konflik antara id, ego, superego, bukan konflik insingtif, bukan karena berbagai dorongan impuls, trauma psikologis, melainkan timbul sebagai akibat konflik moral, antar nilai-nilai, hati nurani, dan problem moral etis, dan sebagainya (Bastaman, 1995).
Kehampaan eksistensial pada umumnya ditunjukkan dengan perilaku yang serba bosan dan apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup, meragukan kehidupan. Logoterapi membantu pribadi untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dan menyadarkan akan tanggung jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani, keluarga, masyarakat, maupun kepada Tuhan. Tugas seorang logoterapis dalam hal ini adalah sekedar membuka cakrawala pandangan klien dan menjajaki nilai-niliai yang memungkinkan dapat diketemukan makna hidup, yaitu nilai-nilai kritis, kreatif, dan sikap bertuhan. Dengan demikian logoterapi mencoba untuk menjawab dan menyelesaikan berbagai problem, krisis, dan keluhan manusia masa kini, yang initinya adalah seputar hasrat untuk hidup secara bermakna.
Dalam prakteknya, logoterapis membantu klien agar lebih sehat secara emosional, dan salah satu cara untuk mencapainya adalah memperkenalkan filsafat hidup yang lebih sehat, yaitu mengajak untuk menemukan makna hidupnya. Menemukan makna hidup merupakan sesuatu yang kompleks. Pada banyak kasus, logoterapis hanya dapat mengajak klien untuk mulai menemukannya. Logoterapis harus menghindar untuk memaksakan suatu makna tertentu pada klien, melainkan mempertajam kepada klien akan makna hidupnya. Mungkin cara yang lebih baik yang dapat dilakukan seorang logoterapis guna membantu klien agar mengenali apa yang ingin ia lakukan dalam hidup adalah memperdulikan dan menciptakan atmosfir yang bersahabat, sehingga klien bebas menjelajahi keunikan dirinya tanpa merasa takut ditolak. Sebagimana setiap orang yang sedang jatuh cinta pada umumnya mampu secara intuitif mengenali makna unik apa yang terdapat dalam hidup orang yang dicintainya.

Bagian IV.
 Melihat uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa logoterapi mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud, tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita tidak lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan eksistensi kita. *Namun kalaulah hidup diisi dengan penderitaaan pun, itu adalah kehidupan yang bermakna, karena keberanian menanggung tragedi yang tak tertanggungkan merupakan pencapaian atau prestasi dan kemenangan.*
Banyak orang menyatakan bahwa logoterapi Victor E. Frankl sangat dekat dengan ajaran agama (spiritual), atau juga bisa merupakan “agama sekuler“. Bagi Frankl makna hidup adalah daya yang membimbing eksistensi manusia, sebagaimana para Nabi membimbing umatnya. Frankl menggabungkan wawasan dari agama-agama dan filsafat-filsafat lama, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadinya selama tiga tahun yang kelam di kamp konsentrasi Nazi yang dituangkan dalam suatu teori psikoterapi, ajaran tersebut dinamakan dengan logoterapi.



sumber:
Abidin, Zainal, */”Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri”/*, Refika Aditama, Bandung, 2002. Baharuddin, */”Paradigma
Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an”/*, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Bastaman, Hanna Djumhana, “Dimensi Spiritual dalam Teori Psikologi Kontemporer: Logoterapi Victor E. Frankl”, dalam */Jurnal Ulumul Qur’an/*, Nomer 4 Vol. V. Tahun 1994. halm 14-21.
Bastaman, Hanna Djumhana, */”Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami”/*, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Frankl, V.E., */”Man’s Seach for Meaning: An Introduction to Logotherapy”/*, Washington Square Press, New York, 1963.
Fromm, Erich, */”Psikologi dan Agama”/*, trj. Oleh Chairul Fuad Yusuf dan Prasetya Utama, Atira, Jakarta, 1988.
Koeswara, E., */”Logoterapi: Psikoterapi Victor Frankl”/*, Kanisius, Yogyakarta, 1992
Rakhmat, Jalaluddin, Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, */”SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan”/*, Mizan, Bandung, 2002.
Rakhmat, Jalaluddin, */”Psikologi Agama: Sebuah Pengantar”/*, Mizan Bandung, 2004. Sukanto, Mm, Dardiri Hasyim, */”Nafsiologi: Refleksi
Analisis tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia”/*, Risalah Gusti, Surabaya, 1995.