Tuesday, April 16, 2013

Logoterapi (sebuah Pendekatan Eksistensialis)


Bagian I.
Di Wina Austria, Victor Emil Frankl dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1905 dari keluarga Yahudi yang sangat kuat memegang tradisi, nilai-nilai dan kepercayaan Yudaisme. Hal ini berpengaruh kuat atas diri Frankl yang ditunjukkan oleh minat yang besar pada persoalan spiritual, khususnya persoalan mengenai makna hidup. Di tengah suasana yang religius itulah Frankl menjalani sebagian besar hidupnya.
Dalam bagian pertama buku “Man’s Seach for Meaning” (Frankl, 1963), mengisahkan penderitaan Frankl selama menjadi tawanan Yahudi di Auschwitz dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya. Kehidupannya selama tiga tahun di kamp konsentrasi adalah kehidupan yang mengerikan se cara kejam. Setiap hari, ia menyaksikan tindakan-tindakan kejam, penyiksaan, penembakan, pembunuhan masal di kamar gas atau eksekusi dengan aliran listrik. Pada saat yang sama, ia juga melihat peristiwa-peristiwa yang sangat mengharukan; berkorban untuk rekan,kesabaran yang luar biasa, dan daya hidup yang perkasa. Di samping para tahanan yang berputus asa yang mengeluh, “mengapa semua ini terjadi pada kita? “, mengapa aku harus menanggung derita ini?”, ada juga para tahanan yang berpikir “apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti ini?”. Yang pertama umumnya berakhir dengan kematian, dan yang kedua banyak yang lolos dari lubang jarum kematian.
Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), hal yang membedakan keduanya adalah pemberian makna. Pada manusia ada kebebasan yang tidak bisa dihancurkan bahkan oleh pagar kawat berduri sekalipun. Itu adalah kebebasan untuk memilih makna. Sambil mengambil pemikiran Freud tentang efek berbahaya dari represi dan analisis mimpinya, Frankl menentang Freud ketika dia menganggap dimensi spiritual manusia sebagai sublimasi insting hewani. Dengan landasan fenomenologi, Frankl membantah dan menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya diakibatkan oleh proses psikis saja. Menurutnya, pemberian makna berada di luar semua proses psikologis. Dia mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut dengan Logoterapi (berasal dari kata Yunani “Logos” yang berarti “makna”).
Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis, spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan fisik dan psikilogis. Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan(Jalaluddin Rahmat, 2004).
Frankl menyebut dimensi spiritual sebagai “noos” yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-orientasi tujuan kita, kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang fisik psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali superego, secara humor kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasa diri kita atau kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang kita yakini. Dalam dunia spiritual, kita tidak dipandu, kita adalah pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar kita. Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan spiritual ini.

Bagian II.
 Peradaban Barat modern dengan revolusi industri yang membuat suatu syndrome kehampaan (emptyness) eksistensial dengan ditandai oleh kebosanan, kehampaan, ketiadaan tujuan, masyarakat mengalami dehumanisasi, yang tidak peduli terhadap apa yang akan dilakukan dalam hidup. Semuanya berasal dan datang dari kondisi masyarakat yang tidak menguntungkan. Revolusi industri menjadikan seorang pekerja mengabdi kepada kepentingan majikan, dan kehilangan semua hubungan dengan barang yang diproduksinya. Hilangnya hubungan pribadi (individualisme, permisifisme), tidak adanya pandangan bersama mengenai kehidupan yang lebih baik di masa depan, lebih mengutamakan suatu hal yang bersifat materi (Materialisme, kapitalisme, hedonisme), dan mengabaikan hal-hal yang spiritual. Erich Fromm (1988) menyatakan bahwa banyak orang merasa dirinya seperti komoditi yang diperjualbelikan dan pada saat berikutnya menjadi penjaja komoditi. Dunia Barat kontemporer telah menghasilkan manusia hampa yang mencari makna. Jika di masa lalu orang neurotik itu diibaratkan seperti orang patah kaki, maka dalam dunia modern, seorang neurotik umumnya adalah orang yang memiliki dua kaki sempurna tetapi tidak tahu ke mana kaki itu harus pergi melangkah???
Dalam hidup ini ada beberapa ancaman sebagai penyebab “kecemasan eksistensial”, hal ini merupakan aspek terpenting yang menentukan apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan, adalah “pertama” kematian: kita semua adalah makhluk yang fana’, kematian sewaktu-waktu akan datang menjemput kita. “Kedua”, takdir, garis kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bias diramalkan atau dikendalikan. */Ketiga/*, keharusan untuk membuat pilihan mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga cara; a). kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa informasi yang cukup, b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung untuk mencari bimbingan dari sumber transcendental yang lebih tinggi, c). menjatuhkan pilihan berarti mengabaikan pilihan lainnya (Zainal Abidin, 2002).
Gambaran tentang adanya kecemasan eksistensial ini dapat kita jumpai misalnya yang terjadi di kalangan mahasiswa, tampak kecenderungannya untuk hidup demi kepuasan sesaat, penggunaan Narkotika, hidup hura-hura, berpesta pora, pergaulan bebas, sampai seks bebas, kegairahan yang besar terhadap unsur-unsur fisik (hedonisme) merupakan bukti adanya krisis kebermaknaan hidup. Pemuasan pada kepuasan sementara hanya merupakan “penamba” pada kekosongan dan kebosanan yang berakar dari ketiadaan makna? Untuk apa mereka hidup?
Hilangnya makna, kehampaan eksistensial yang lazim terjadi di zaman modern sekarang ini dalam buku “Man’s seach for meaning” (Frankl, 1963) dijelaskan bahwa mereka tersebut tidak sendirian menghadapi hidup yang tak bermakna, mereka pada dasarnya merupakan bagian dari “invisible community” yang mengalami kehampaan serupa. Frankl memberi pesan bahwa kita harus memiliki keberanian dan kesabaran. Yakni keberanian untuk membiarkan masalah ini untuk sementara waktu tak terpecahkan, dan kesabaran untuk tidak menyerah dan mengupayakan penyelesaian.
Inti ajaran Frankl adalah pandangan bahwa menjalani hidup dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu. Motivasi utama dari manusia adalah untuk menemukan tujuan itu, itulah makna hidup. Pencarian makna yang kita lakukan merupakan fenomena kompleks yang membutuhkan penggalian, dan untuk memahaminya kita harus “menjalaninya”. Tentang “makna” menurut Zainal Abidin (2002), ada dua hal yang perlu diperhatikan;
Pertama, makna tidak sama dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah suatu proses yang menjadikan kita seperti adanya kita, dimana kita mengembangkan dan menyadari cetak biru (blue-print) dari potensi dan bakat kita sendiri. Namun, meski seseorang sanggup sepenuhnya mengembangkan potensinya, belum tentu ia telah memenuhi makan hidupnya. Makna tidak terletak pada diri kita, melainkan terletak di dunia luar. Kita tidak menciptakan makna, atau memilihnya, melainkan harus menemukannya. Dengan kata lain, untuk dapat menemukan makna kita harus ke luar dari persembunyian dan menyongsong tantangan di luar sana yang memang ditujukan kepada kita. Tujuan/makna adalah sesuatu yang “transcendental”, sesuatu yang berada di luar “pemiliknya” (Frankl, 1963). Maka ketika seseorang mencari bimbingan untuk menjatuhkan pilihanya, tidak akan ia menjumpai kekosongan, tetapi ia menemukan makna hidupnya pada sesuatu di luar atau di atas dirinya. Hidup tidaklah semata mengarahkan diri pada realisasi diri ataupun sesuatu dalam diri kita, melainkan mengarahkan diri pada makna yang harus kita penuhi. Dengan begitu “kefanaan” menjadi kurang menakutkan. Maknalah yang memelihara hidup kita. “Melekatkan diri pada sesuatu yang melebihi usia hidup memberi manusia suatu keabadian”
Keterasingan dari dunia, lantaran cara hidup serba mekanis, menjadi berkurang ketika kita tahu bahwa kita berada di dunia untuk suatu tanggung jawab yang mesti dipenuhi. Manusia mampu bertahan hidup di gurun yang sangat tandus, jika gurun tersebut menawarkan suatu tugas yang harus dipenuhi. Sebaliknya ada orang yang mati bunuh diri minum racun di istana mewah karena tidak tahu untuk apa dia hidup.
Kedua, hidup setiap orang memiliki makna yang unik, setiap orang memiliki peran unik yang harus dipenuhi atau diperankan, suatu peran yang tak dapat digantikan oleh orang lain. Setiap orang lahir ke dunia ini mewakili sesuatu yang baru, yang itu tidak ada sebelumnya. Sesuatu yang original dan unik. Tugas setiap orang adalah untuk memahami bahwa tidak pernah ada seorang pun serupa dirinya, karena jika memang pernah ada seseorang yang serupa dengan dirinya, maka ia tidak diperlukan. Setiap orang adalah sesuatu yang baru, dan harus memenuhi suatu tugas dan panggilan mengapa ia diciptakan di dunia ini (Buber dalam Zainal Abidin, 2002).

Bagian III.
 Pengembaraan dalam mencari eksistensi kita, dapat kita temukan ketika kita berupaya memahami makna hidup kita sendiri. Saat kita menyadari dalam hal apa kita adalah unik. Berbeda dari orang lain, tugas unik apa yang telah kita penuhi, yakni suatu tugas yang hanya dapat dipenuhi oleh seorang seperti “aku”, dan tidak ada seorang pun yang sama seperti aku. Penemuan makna memberi kita suatu pemahaman mengenai takdir, semua kegembiraan dan kesedihan tampak menjadi bagian yang sesuai dari keseluruhan riwayat hidup kita. Ibarat kepingan-kepingan /”keramik”/ yang membentuk sebuah “mozaik” perjalanan hidup kita. Setiap kepingan-kepingan tersebut pasti bermanfaat, tidak ada yang sia-sia. Setiap peristiwa adalah satu langkah yang mendekatkan kita untuk menjadi manusia sepenuhnya, yang memenuhi suatu “peran” yang memang “hanya” untuk kita.
Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah jalan hidup kita -menyusun kembali hidup kita yang porak poranda-, yaitu:
1. Makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (self discovery)
2. Makna muncul ketika kita menentukan pilihan, hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam suatu keadaan, ketika kita tidak dapat memilih
3. Makna dapat kita temukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain
4. Makna membersit dalam tanggung jawab
5. Makna mencuat dalam situasi transendensi, gadungan dari keempat hal di atas, ketika mentransendensikan diri kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita.
Transendensi adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar dari pengalaman kita yang biasa, ke luar dari suka dan duka kita, ke luar dari diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir “the ultimate meaning” yang menyadarkan kita akan “aturan Agung” yang mengatur alam semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti rancangan besar “grand design” yang ditampakkan kepada kita. Inilah dimensi spiritual dari ajaran logoterapi Victor E. Frankl. Hanna Djumhana Bastaman (1994), menyimpulkan tentang logoterapi berpandangan bahwa manusia dengan kesadaran dirinya mampu melepaskan diri dari ancaman-ancaman pengaruh lingkungan dan berbagai bentuk kecenderungan alami ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu dalam dirinya sendiri. Dengan logoterapi kita dapat menemukan hasrat hidup bermakna “the will to meaning” sebagai motif dasar manusia, yang berlawanan dengan hasrat hidup senang (the will to pleasure dari Freud, dan hasrat hidup berkuasa the will to power-nya Alfred Adler. Dalam pandangan logoterapi the will to pleasure merupakan hasil (by product) dan the will to power merupakan sarana untuk memenuhi the will to meaning.
Menurut ajaran logoterapi, bahwa kehidupan ini mempunyai makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaaan sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini, Manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna hidup, yakni melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati -termasuk cinta kasih-, atau dalam setiap sikap yang diambil terhadap keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin terelakkan. Manusia dihadapkan dan diorientasikan kembali kepada makna, tujuan dan kewajiban hidupnya. Kehidupan tidak selalu memberikan kesenangan kepada kita, tetapi senantiasa menawarkan makna yang harus kita jawab. Tujuan hidup buka nlah untuk mencapai keseimbangan tanpa tegangan, melainkan sering dalam kondisi tegangan antara apa yang kita hayati saat ini dengan prospek kita di masa depan. Logoterapi memperteguh daya tahan psikis kita untuk menghadapi berbagai kerawanan hidup yang kita alami. Dalam prakteknya logoterapi dapat mengatasi kasus fobia dengan menggunakan teknik “paradoxical intention”, yaitu mengusahakan agar orang mengubah sikap dari yang semula memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self detachment) terhadap keluhan sendiri, kemudian memandangnya secara humoritas. Logoterapi juga dapat diterapkan pada kasus-kasus frustasi eksistensial, kepapaan hidup, kehampaan hidup, tujuannya adalah membantu kita untuk menyadari adanya daya spiritual Yang terdapat pada setiap orang, agar terungkap nyata (actual) yang semula biasanya ditekan (repressed), terhambat (frustasi) dan diingkari. Energi spiritual tersebut perlu dibangkitkan agar tetap teguh menghadapi setiap kemalangan dan derita.
Dalam kehidupan, mungkin hasrat hidup bermakna sebagai motif utama tidak dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan orang melihat, bahwa dalam kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang sifatnya potensial, yang perlu disadari dan ditemukan, keadaan ini menimbulkan semacamfrustasi yang disebut frustasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi oleh penghayatan tanpa makna (meaningless). Gejala-gejalanya sering tidak terungkapkan secara nyata, karena biasanya bersifat “latent” dan terselubung. Perilaku yang biasanya merupakan selubung frustrasi eksistensial itu sering tampak pada berbagai usaha kompensasi dan hasrat yang berlebihan untuk berkuasa, atau bersenang-senang, mencari kenikmatan duniawiyah (materialisme). Gejala ini biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang, manic-bekerja (wokerholic), free sex, dan perilaku hedonisme lainnya.
Frustrasi eksistensial akan terungkap secara eksplisit dalam penghayatan kebosanan dan sifat apatis. Kebosanan merupakan ketidakmampuan sesorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatisme merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa (inisiatif). frustrasi eksistensial adalah identik dengam kehampaan eksistensial, dan merupakan salah satu factor yang dapat menjelmakan neurosis. Neurosis ini dinamakan “neurosis noogenik”, karena karakteristiknya berlainan dengan neurosis yang klinis konvensional. Neurosis noogenik tidak timbul sebagai akibat adanya konflik antara id, ego, superego, bukan konflik insingtif, bukan karena berbagai dorongan impuls, trauma psikologis, melainkan timbul sebagai akibat konflik moral, antar nilai-nilai, hati nurani, dan problem moral etis, dan sebagainya (Bastaman, 1995).
Kehampaan eksistensial pada umumnya ditunjukkan dengan perilaku yang serba bosan dan apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup, meragukan kehidupan. Logoterapi membantu pribadi untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dan menyadarkan akan tanggung jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani, keluarga, masyarakat, maupun kepada Tuhan. Tugas seorang logoterapis dalam hal ini adalah sekedar membuka cakrawala pandangan klien dan menjajaki nilai-niliai yang memungkinkan dapat diketemukan makna hidup, yaitu nilai-nilai kritis, kreatif, dan sikap bertuhan. Dengan demikian logoterapi mencoba untuk menjawab dan menyelesaikan berbagai problem, krisis, dan keluhan manusia masa kini, yang initinya adalah seputar hasrat untuk hidup secara bermakna.
Dalam prakteknya, logoterapis membantu klien agar lebih sehat secara emosional, dan salah satu cara untuk mencapainya adalah memperkenalkan filsafat hidup yang lebih sehat, yaitu mengajak untuk menemukan makna hidupnya. Menemukan makna hidup merupakan sesuatu yang kompleks. Pada banyak kasus, logoterapis hanya dapat mengajak klien untuk mulai menemukannya. Logoterapis harus menghindar untuk memaksakan suatu makna tertentu pada klien, melainkan mempertajam kepada klien akan makna hidupnya. Mungkin cara yang lebih baik yang dapat dilakukan seorang logoterapis guna membantu klien agar mengenali apa yang ingin ia lakukan dalam hidup adalah memperdulikan dan menciptakan atmosfir yang bersahabat, sehingga klien bebas menjelajahi keunikan dirinya tanpa merasa takut ditolak. Sebagimana setiap orang yang sedang jatuh cinta pada umumnya mampu secara intuitif mengenali makna unik apa yang terdapat dalam hidup orang yang dicintainya.

Bagian IV.
 Melihat uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa logoterapi mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud, tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita tidak lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan eksistensi kita. *Namun kalaulah hidup diisi dengan penderitaaan pun, itu adalah kehidupan yang bermakna, karena keberanian menanggung tragedi yang tak tertanggungkan merupakan pencapaian atau prestasi dan kemenangan.*
Banyak orang menyatakan bahwa logoterapi Victor E. Frankl sangat dekat dengan ajaran agama (spiritual), atau juga bisa merupakan “agama sekuler“. Bagi Frankl makna hidup adalah daya yang membimbing eksistensi manusia, sebagaimana para Nabi membimbing umatnya. Frankl menggabungkan wawasan dari agama-agama dan filsafat-filsafat lama, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadinya selama tiga tahun yang kelam di kamp konsentrasi Nazi yang dituangkan dalam suatu teori psikoterapi, ajaran tersebut dinamakan dengan logoterapi.



sumber:
Abidin, Zainal, */”Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri”/*, Refika Aditama, Bandung, 2002. Baharuddin, */”Paradigma
Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an”/*, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Bastaman, Hanna Djumhana, “Dimensi Spiritual dalam Teori Psikologi Kontemporer: Logoterapi Victor E. Frankl”, dalam */Jurnal Ulumul Qur’an/*, Nomer 4 Vol. V. Tahun 1994. halm 14-21.
Bastaman, Hanna Djumhana, */”Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami”/*, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Frankl, V.E., */”Man’s Seach for Meaning: An Introduction to Logotherapy”/*, Washington Square Press, New York, 1963.
Fromm, Erich, */”Psikologi dan Agama”/*, trj. Oleh Chairul Fuad Yusuf dan Prasetya Utama, Atira, Jakarta, 1988.
Koeswara, E., */”Logoterapi: Psikoterapi Victor Frankl”/*, Kanisius, Yogyakarta, 1992
Rakhmat, Jalaluddin, Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, */”SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan”/*, Mizan, Bandung, 2002.
Rakhmat, Jalaluddin, */”Psikologi Agama: Sebuah Pengantar”/*, Mizan Bandung, 2004. Sukanto, Mm, Dardiri Hasyim, */”Nafsiologi: Refleksi
Analisis tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia”/*, Risalah Gusti, Surabaya, 1995.



2 comments:

putra said...

good article and provide a lot of information

nasywa said...

yang sedang jatuh cinta pada umumnya mampu secara intuitif mengenali makna unik apa yang terdapat dalam hidup orang yang dicintainya? Tel U