Computer Base Information System, berarti bahwa komputer memainkan peranan penting dalam sebuah sistem informasi, secara teoritis, penerapan sebuah sistem informasi memang tidak harus menggunakan komputer dalam kegiatannya, namun pada prakteknya dengan data dan kebutuhan informasi yang begitu kompleks maka peran teknologi komputer begitu dibutuhkan, peran komputer inilah yang dikenal dengan istilah “computer based” karena digunakan untuk mengolah informasi dalam sebuah sistem maka disebut “Computer Base Information System” atau sistem informasi berbasis komputer.
Sistem informasi berbasis computer memiliki serangkaian sub di antaranya :
1. Sistem Informasi Akuntansi : Sistem informasi akuntansi adalah sistem informasi yang menjadi acuan dalam sistem informasi formal lainnya, seperti sumber daya manusia, keuangan, pemasaran, peralatan, catatan-catatan dan laporan guna memberikan informasi pada suatu perusahaan (Wilkinson, Baridwan & Mulyadi).
Fungsi penting yang dibentuk SIA pada sebuah organisasi antara lain :- Mengumpulkan dan menyimpan data tentang aktivitas dan transaksi.- Memproses data menjadi into informasi yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan. - Melakukan kontrol secara tepat terhadap aset organisasi.
2. Sistem Informasi ManajemenSistem Informasi Manajemen adalah sistem informasi berbasis komputer yang menyediakan informasi untuk mendukung kebutuhan manajemen (Febrian, McLeod & Schell).Meskipun demikian, masih dalam buku yang sama dinyatakan bahwa MIS adalah kumpulan manusia dan sumber daya di dalam sebuah organisasi yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan memproses data untuk menghasilkan informasi yang berguna untuk semua tingkatan manajemen dalam aktivitias perencanaan dan pengendalian.Tujuan umum Sistem Informasi Manajemen :· Menyediakan informasi yang dipergunakan di dalam perhitungan harga pokok jasa, produk, dan tujuan lain yang diinginkan manajemen.· Menyediakan informasi yang dipergunakan dalam perencanaan, pengendalian, pengevaluasian, dan perbaikan berkelanjutan.· Menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan.Ketiga tujuan tersebut menunjukkan bahwa manajer dan pengguna lainnya perlu memiliki akses ke informasi akuntansi manajemen dan mengetahui bagaimana cara menggunakannya. Informasi akuntansi manajemen dapat membantu mereka mengidentifikasi suatu masalah, menyelesaikan masalah, dan mengevaluasi kinerja (informasi akuntansi dibutuhkan dam dipergunakan dalam semua tahap manajemen, termasuk perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan).
3. Sistem Pendukung Keputusan (SPK)Sistem Pendukung Keputusan adalah suatu sistem informasi berbasis komputer yang menghasilkan berbagai alternatif keputusan untuk membantu manajemendalam menangani berbagai permasalahan yang terstruktur ataupun tidak terstruktur dengan menggunakan data dan model .
4. Office AutomationOffice Automation / Otomatisasi Kantor adalah penggunaan alat elektronik untuk memudahkan komunikasi formal dan informal terutama berkaitan dengan komunikasi informasi dengan orang-orang di dalam dan di luar perusahaan untuk meningkatkan produktivitas.
Aplikasi Office Automation
1. Pengolahan Kata : penggunaan alat elektronik yang secara otomatis melaksanakan banyak tugas yang diperlukan untuk menyiapkan dokumen yang ditik atau dicetak.
2. Surat elektronik : atau yang dikenal sebagai E-mail, adalah penggunaan jaringan komputer yang memungkinkan para pemakai mengirim, menyimpan dan menerima pesan-pesan deengan menggunakan terminal komputer dan alat penyimpanan.
3. Voice mail : Voice mail memerlukan komputer dengan kemampuan menyimpan pesan audio dalam bentuk digital dan kemudian mengubahnya kembali menjadi bentuk audio saat dipanggil.
4. Kalender elektronik : Adalah penggunaan jaringan komputer untuk menyimpan dan mengambil kalender pertemuan manajer.
5. Konferensi Audio : Adalah penggunaan peralatan komunikasi suara untuk membuat suatu hubungan audio diantara orang-orang yang tersebar secara geografis dengan tujuan melaksanakan konferensi. Konferensi audio tidak memerlukan komputer, hanya melibatkan fasilitas komunikasi audio dua arah.
6. Konferensi video : Adalah penggunaan peralatan televisi untuk menghubungkan para peserta konferensi yang tersebar secara geogrrafis. Peralatan tersebut menyediakan hubungan audio dan video.
7. Konferensi Komputer : Konferensi komputer adalah penggunaan jaringan komputer untuk memungkinkan para anggota tim pemecahan masalah bertukar informasi mengenai masalah yang sedang dipecahkan.
8. Transmisi faxsimili (FAX) : adalah penggunaan peralatan khususyang dapat membaca citra dokumen pada satu ujung saluran komunikasi dan membuat salinannya di ujung yang lain. Saluran komunikasinya sangat sering berbentuk saluran telepon biasa.
9.Videotext : Penggunaan komputer untuk menampilkan pada layar CRT materi narasi dan grafik yang tersimpan.
10. Pencitraan (imaging) : Merupakan penggunaan pengenal karakter secara optik (optical character recognition) untuk mengubah catatan-catatan kertas atau microfilm menjadi format digital untuk disimpan didalam alat penyimpanan sekunder . Kemudian citra tersebut dapat diambil untuk ditampilkan atau dicetak.
11.Deskstop Publishing (DTP) : Adalah penggunaan komputer untuk menyiapkan output tercetak yang kualitasnya sangat mirip dengan yang dihasilkan oleh typesetter.
5. Sistem pakar (expert systems)Sistem pakar adalah sistem yang berusaha mengapdosi pengetahuan manusia ke komputer, agar komputer dapat menyelesaikan masalah seperti yang biasa dilakukan oleh para ahli. Sistem pakar yang baik dirancang agar dapat menyelesaikan suatu permasalahan tertentu dengan meniru kerja dari para ahli.Sistem pakar juga dapat diartikan dimana kepakaran ditransfer dari seorang pakar (atau sumber kepakaran yang lain) ke komputer, pengetahuan yang ada disimpan dalam komputer, dan pengguna dapat berkonsultasi pada komputer itu untuk suatu nasehat, lalu komputer dapat mengambil inferensi (menyimpulkan, mendeduksi, dll.) seperti layaknya seorang pakar, kemudian menjelaskannya ke pengguna tersebut, bila perlu dengan alasan-alasannya.
Sumber :McLeod, Raymond. (2001). Sistem Informasi Manajamen. Jakarta: PT Prenhaslindo.http://informatika.web.id/sistem-informasi-berbasis-komputer-cbis.htmlhttp://ilmuakuntansi.web.id/pengertian-sistem-informasi-akuntansi/http://ericute.files.wordpress.com/2009/04/pertemuan-13.pdf/http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/521/jbptunikompp-gdl-budinim101-26008-6-unikom_b-i.pdf/http://www.komarudintasdik.me/2013/03/definisi-sistem-informasi-manajemen.html/
Friday, November 8, 2013
Friday, October 18, 2013
Sistem Informasi Psikologi
- Apa itu Sistem? Asal kata Sistem berasal dari bahasa Latin systema dan bahasa Yunani sustema. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai suatu tujuan.
Berikut ini beberapa Pengertian Sistem Menurut para Ahli:
1. Pengertian Sistem Menurut Jogianto: mengemukakan bahwa sistem adalah kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. sistem ini menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan kesatuan yang nyata adalah suatu objek nyata, seperti tempat, benda, dan orang-orang yang betul-betul ada dan terjadi.
2. Pengertian Sistem Menurut Indrajit: mengemukakan bahwa sistem mengandung arti kumpulan-kumpulan dari komponen-komponen yang dimiliki unsur keterkaitan antara satu dengan lainnya.
- Informasi mempunyai manfaat dan peranan yang sangat dominan dalam suatu organisasi/perusahaan. Tanpa adanya suatu informasi dalam suatu organisasi, para manajer tidak dapat bekerja dengan efisien dan efektif. Tanpa tersedianya informasi pun para manajer tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat dan mencapai tujuan dengan efektif dan efisien. Sehingga bisa dibilang bahwa informasi merupakan sebuah keterangan yang bermanfaat untuk para pengambil keputusan dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Berikut ini adalah pengertian dan definisi informasi menurut beberapa ahli:
1. Pengertian informasi menurut Joner Hasugian
Informasi adalah sebuah konsep yang universal dalam jumlah muatan yang besar, meliputi banyak hal dalam ruang lingkupnya masing-masing dan terekam pada sejumlah media
2. Pengertian informasi menurut Kenneth C. Laudon
Informasi adalah data yang sudah dibentuk ke dalam sebuah formulir bentuk yang bermanfaat dan dapat digunakan untuk manusia
- Psikologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani Psychology yang merupakan gabungan dan kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos berarti ilmu. Secara harafiah psikologi diartikan sebagal ilmu jiwa. Istilah psyche atau jiwa masih sulit didefinisikan karena jiwa itu merupakan objek yang bersifat abstrak, sulit dilihat wujudnya, meskipun tidak dapat dimungkiri keberadaannya.
Ada banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang pengertian psikologi, diantaranya:
1. Pengertian Psikologi menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13 (1990), Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan binatang baik yang dapat dilihat secara langsung maupun yang tidak dapat dilihat secara langsung.
2. Pengertian Psikologi menurut Dakir (1993), psikologi membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya.
3. Pengertian Psikologi menurut Muhibbin Syah (2001), psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Tingkah laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat psikomotor yang meliputi perbuatan berbicara, duduk , berjalan dan lain sebgainya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan, berperasaan dan lain sebagainya.
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak disadari.
Dari pengertian sistem, informasi dan psikologi, dapat disimpulkan bahwa pengertian sistem informasi psikologi adalah kumpulan komponen elemen-elemen data yang sudah diolah untuk mempelajari ilmu tentang manusia.
Dakir. 1993. Dasar-Dasar Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Muhibbinsyah. 2001. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tuesday, May 7, 2013
Behaviour therapy
Terapi perilaku (Behaviour
therapy, behavior modification) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang
didasari oleh Teori Belajar (learning theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan
psikopatologi seperti; depression, anxiety disorders, phobias, dengan memakai
tehnik yang didisain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan
menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.
SEJARAH PERKEMBANGAN TERAPI
PERILAKU
Watson dkk selama 1920 melakukan
pengkondisian (conditioning) dan pelepasan kondisi (deconditioning) pada rasa
takut, merupakan cikal bakal terapi perilaku formal. Pada tahun 1927,
Ivan Pavlov terkenal dengan percobaannya pada anjing dengan memakai suara
bell untuk mengkondisikan anjing bahwa bell = makanan, yang kemudian dikenal
juga sebagai Stimulus dan Respon.
Terapi perilaku pertama kali
ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek penelitian oleh BF Skinner, Ogden
Lindsley, dan Harry C. Salomo. Selain itu termasuk juga Wolpe Yusuf dan Hans
Eysenck.
Secara umum, terapi perilaku
berasal dari tiga Negara, yaitu Afrika Selatan (Wolpe), Amerika Serikat
(Skinner), dan Inggris (Rachman dan Eysenck) yang masing-masing memiliki
pendekatan berbeda dalam melihat masalah perilaku. Eysenck memandang masalah
perilaku sebagai interaksi antara karakteristik kepribadian, lingkungan, dan
perilaku.
Skinner dkk. di Amerika Serikat
menekankan pada operant conditioning yang menciptakan sebuah pendekatan
fungsional untuk penilaian dan intervensi berfokus pada pengelolaan kontingensi
seperti ekonomi dan aktivasi perilaku.
Ogden Lindsley merumuskan
precision teaching, yang mengembangkan program grafik (bagan celeration)
standar untuk memantau kemajuan klien. Skinner secara pribadi lebih tertarik
pada program-program untuk meningkatkan pembelajaran pada mereka dengan atau
tanpa cacat dan bekerja dengan Fred S. Keller untuk mengembangkan programmed
instruction.
Program ini dicoba ke dalam pusat
rehabilitasi Aphasia dan berhasil. Gerald Patterson menggunakan program yang
sama untuk mengembangkan teks untuk mengasuh anak-anak dengan masalah perilaku.
Tujuan:
Tujuan umum terapi tingkah laku
adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya
ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah
laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa
unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa
diperoleh. Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan
hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar
yang di dalamnya terdapat respons-respons yang layak, namun belum dipelajari;
Meningkatkan perilaku, atau
Menurunkan perilaku
Meningkatkan perilaku:
Reinforcement positif: memberi
penghargaan thd perilaku
Reinforcement negatif: mengurangi
stimulus aversi
Mengurangi perilaku:
Punishment: memberi stimulus
aversi
Respons cost: menghilangkan atau
menarik reinforcer
Extinction: menahan reinforcer
Teori dasar Metode Terapi
Perilaku
Perilaku maladaptif dan kecemasan
persisten telah dibiasakan (conditioned) atau dipelajari (learned)
Terapi untuk perilaku
maladaptif adalah dg penghilangan kebiasaan (deconditioning) atau ditinggalkan
(unlearning)
Untuk menguatkan perilaku adalah
dg pembiasaan perilaku (operant and clasical conditioning)
Fungsi dan Peran Terapis
Terapis tingkah laku harus
memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis
menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah manusia,
para kliennya. Terapi tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru,
pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam
menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada
tingkahlaku yang baru dan adjustive.
Hubungan antara Terapis dan Klien
Pembentukan hubungan pribadi yang
baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik, peran
terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Para terapis
tingkah laku menghindari bermain peran yang dingin dan impersonal sehingga
hubungan terapeutik lebih terbangun daripada hanya memaksakan teknik-teknik
kaku kepada para klien. .
Bentuk bentuk terapi Perilaku
1. Sistematis
Desensitisasi, adalah jenis terapi perilaku yang digunakan dalam bidang
psikologi untuk membantu secara efektif mengatasi fobia dan gangguan kecemasan
lainnya. Lebih khusus lagi, adalah jenis terapi Pavlov/terapi operant
conditioning therapy yang dikembangkan oleh psikiater Afrika Selatan, Joseph
Wolpe.
Dalam metode ini, pertama-tama
klien diajarkan keterampilan relaksasi untuk mengontrol rasa takut dan
kecemasan untuk fobia spesifik. Klien dianjurkan menggunakannya untuk bereaksi
terhadap situasi dan kondisi sedang ketakutan. Tujuan dari proses ini adalah
bahwa seorang individu akan belajar untuk menghadapi dan mengatasi phobianya,
yang kemudian mampu mengatasi rasa takut dalam phobianya.
Fobia spesifik merupakan salah
satu gangguan mental yang menggunakan proses desensitisasi sistematis. Ketika
individu memiliki ketakutan irasional dari sebuah objek, seperti ketinggian,
anjing, ular, mereka cenderung untuk menghindarinya.
Tujuan dari desensitisasi
sistematis untuk mengatasi ini adalah pola memaparkan pasien bertahap ke objek
fobia sampai dapat ditolerir.
2. Exposure and Response
Prevention (ERP), untuk berbagai gangguan kecemasan, terutama gangguan
Obsessive Compulsive. Metode ini berhasil bila efek terapeutik yang dicapai
ketika subjek menghadapi respons dan menghentikan pelarian.
Metodenya dengan memaparkan
pasien pada situasi dengan harapan muncul kemampuan menghadapi respon (coping)
yang akan mengurangi mengurangi tingkat kecemasannya. Sehingga pasien
bisa belajar dengan menciptakan coping strategy terhadap keadaan yang bisa
menyebabkan kecemasan perasaan dan pikiran. Coping strategy ini dipakai
untuk mengontrol situasi, diri sendiri dan yang lainnya untuk mencegah timbulnya
kecemasan.
3. Modifikasi perilaku, menggunakan
teknik perubahan perilaku yang empiris untuk memperbaiki perilaku, seperti
mengubah perilaku individu dan reaksi terhadap rangsangan melalui penguatan
positif dan negatif.
Penggunaan pertama istilah
modifikasi perilaku nampaknya oleh Edward Thorndike pada tahun 1911. Penelitian
awal tahun 1940-an dan 1950-an istilah ini digunakan oleh kelompok penelitian
Joseph Wolpe, teknik ini digunakan untuk meningkatkan perilaku adaptif melalui
reinforcement dan menurunkan perilaku maladaptive melalui hukuman (dengan
penekanan pada sebab).
Salah satu cara untuk memberikan
dukungan positif dalam modifikasi perilaku dalam memberikan pujian,
persetujuan, dorongan, dan penegasan; rasio lima pujian untuk setiap satu
keluhan yang umumnya dipandang sebagai efektif dalam mengubah perilaku dalam
cara yang dikehendaki dan bahkan menghasilkan kombinasi stabil.
4. Flooding, adalah teknik
psikoterapi yang digunakan untuk mengobati fobia. Ini bekerja dengan mengekspos
pasien pada keadaan yang menakutkan mereka. Misalnya ketakutan pada laba
laba (arachnophobia ), pasien kemudian dikurung bersama sejumlah laba
laba sampai akhirnya sadar bahwa tidak ada yang terjadi.
Banjir ini diciptakan oleh
psikolog Thomas Stampfl pada tahun 1967. Flooding adalah bentuk pengobatan yang
efektif untuk fobia antara lain psychopathologies. Bekerja pada prinsip-prinsip
pengkondisian klasik-bentuk pengkondisian Pavlov klasik-di mana pasien mengubah
perilaku mereka untuk menghindari rangsangan negatif.
Tehnik Terapi:
Mencari stimulus yang memicu
gejala gejala
Menaksir/analisa kaitan kaitan
bagaimana gejala gejala menyebabkan perubahan tingkah laku klien dari keadaan
normal sebelumnya.
Meminta klien membayangkan
sejelas jelasnya dan menjabarkannya tanpa disertai celaan atau judgement oleh
terapis.
Bergerak mendekati pada
ketakutakan yang paling ditakuti yang dialami klien dan meminta kepadanya untuk
membayangkan apa yang paling ingin dihindarinya, dan
Ulangi lagi prosedur di atas
sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam diri klien.
5. Latihan relaksasi
Relaksasi menghasilkan efek
fisiologis yang berlawanan dengan kecemasan yaitu kecepatan denyut jantung yang
lambat, peningkatan aliran darah perifer, dan stabilitas neuromuscular.
Berbagai metode relaksasi telah dikembangkan, walaupun beberapa diantaranya,
seperti yoga dan zen, telah dikenal selama berabad-abad.
Sebagian besar metode untuk
mencapai relaksasi didasarkan pada metode yang dinamakan relaksasi progresif.
Pasien merelaksasikan kelompok otot-otot besarnya dalam urutan yang tertentu,
dimulai dengan kelompok otot kecil di kaki dan menuju ke atas atau sebaliknya.
Beberapa klinisi menggunakan hypnosis untuk mempermudah relaksasi atau
menggunakan tape recorder untuk memungkinkan pasien mempraktekkan relaksasi sendiri.
Khayalan mental atau mental
imagery adalah metode relaksasi dimana pasien diinstruksikan untuk
mengkhayalkan diri sendiri di dalam tempat yang berhubungan dengan rasa
relaksasi yang menyenangkan. Khayalan tersebut memungkinkan pasien memasuki
keadaan atau pengalaman relaksasi seperti yang dinamakan oleh Benson, respon
relaksasi.
6. Observational learning, Juga
dikenal sebagai: monkey see monkey do. Ada 4 proses utama observasi
pembelajaran.
Attention to the model.
Retention of details (observer
harus mampu mengingat kebiasaan model)
Motor reproduction (observer
mampu menirukan aksi)
Motivation and opportunity
(observer harus termotivasi melakukan apa yang telah diobservasi dan diingat
dan harus berkesempatan melakukannya).
reinforcement. Punishment may
discourage repetition of the behaviour
7.Latihan Asertif
Tehnik latihan asertif membantu
klien yang:
Tidak mampu mengungkapkan
‘’emosi’’ baik berupa mengungkapkan rasa marah atau perasaan tersinggung.
Menunjukkan kesopanan yang
berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya,
Klien yang sulit menyatakan
penolakan, mengucapkan kata “Tidak”.
Merasa tidak punya hak untuk
memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Prosedur:
Latihan asertif menggunakan
prosedur-prosedur permainan peran.
Misalnya, klien mengeluh bahwa
dia acap kali merasa ditekan oleh atasannya untuk melakukan hal-hal yang
rnenurut penilaiannya buruk dan merugikan serta mengalami hambatan untuk
bersikap tegas di hadapan atasannya itu.
Cara Terapinya:
Pertama-tama klien memainkan
peran sebagai atasan, memberi contoh bagi terapis, sementara terapis mencontoh
cara berpikir dan cara klien menghadapi atasan. Kemudian, mereka saling menukar
peran sambil klien mencoba tingkah laku baru dan terapis memainkan peran
sebagai atasan. Klien boleh memberikan pengarahan kepada terapis tentang
bagaimana memainkan peran sebagai atasannya secara realistis, sebaliknya
terapis melatih klien bagaimana bersikap tegas terhadap atasan.
8. Terapi Aversi
Teknik-teknik pengondisian
aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan
behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik
dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak
diinginkan terhambat/hilang.
Terapi ini mencakup gangguan,
kecanduan Alkohol, Napza, Kompulsif, Fetihisme, Homoseksual, Pedhophilia, Judi,
Penyimpangan seksual lainnya.
Teknik-teknik aversi adalah
metode-metode yang paling kontroversi, misalnya memberikan kejutan listrik pada
anak anak autis bila muncul tingkah laku yang tidak diinginkan.
Efek-efek samping:
Emosional tambahan seperti
tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi akan ditekan hanya
apabila penghukum hadir.
Jika tidak ada tingkah laku yang
menjadi alternatif bagi tingkah laku yang dihukum, maka individu ada
kemungkinan menarik diri secara berlebihan,
Pengaruh hukuman boleh jadi
digeneralisasikan kepada tingkah laku lain yang berkaitan dengan tingkah laku
yang dihukum, Mis; Seorang anak yang dihukum karena kegagalannya di sekolah
boleh jadi akan membenci semua pelajaran, sekolah, semua guru, dan barangkali
bahkan membenci belajar pada umumnya,
9. Pengondisian operan
Tingkah laku operan adalah
tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme aktif. Ia adalah tingkah
laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku
operan merupakan tingkah laku paling berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang
mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dengan alat-alat makan, bermain,
dsb.
Menurut Skinner (1971) jika suatu
tingkah laku diganjar maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku
tersebut di masa mendatang akan tinggi. Prinsip penguatan yang menerangkan
pembentukan, memelihara, atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan
inti dari pengondisian operan. Berikut ini uraian ringkas dari metode-metode
pengondisian operan yang mencakup: perkuatan positif, pembentukan respons,
perkuatan intermiten, penghapusan, pencontohan, dan token economy.
Perkuatan positif, adalah
pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan
segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Cara ini ampuh untuk
mengubah tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat, baik primer maupun sekunder,
diberikan untuk rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat-pemerkuat primer
memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Contoh pemerkuat primer adalah
makanan dan tidur atau istirahat. Pemerkuat-pemerkuat sekunder, yang memuaskan
kebutuhan kebutuhan psikologis dan sosial, memiliki nilai karena berasosiasi
dengan pernerkuat-pemerkuat primer.
Pembentukan Respon, adalah
tingkah laku yang sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur
kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai
mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu
respons yang pada mulanya tidak terdapat dalam perbendaharaan tingkah laku
individu. Perkuatan sering digunakan dalam proses pembentukan respons ini.
jadi, misalnya, jika seorang guru ingin membentuk tingkah laku kooperatif
sebagai ganti tingkah laku kompetitif, dia bisa memberikan perhatian dan
persetujuan kepada tingkah laku yang diinginkannya itu. Pada anak autistik yang
tingkah laku motorik, verbal, emosional, dan sosialnya kurang adaptif, terapis
bisa membentuk tingkah laku yang lebih adaptif dengan memberikan
pemerkuat-pemerkuat primer maupun sekunder.
Perkuatan intermiten, diberikan
secara bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik. Tingkah laku yang dikondisikan
oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan
dibanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan
yang terus-menerus. Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan
tingkah laku, pada tahap-tahap permulaan terapis harus mengganjar setiap
terjadi munculnya tingkah laku yang diinginkan, sesegera mungkin saat tingkah
laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar,
tingkah laku spesifik apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah tingkah laku
yang diinginkan itu meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi pemberian
perkuatan bisa dikurangi.
Penghapusan, adalah dengan
landadsan bahwa apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan,
maka respons tersebut cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola
tingkah laku yang dipelajari cenderung melemah dan terhapus setelah suatu
periode, cara untuk menghapus tingkah laku yang maladaptif adalah menarik
perkuatan dari tingkah laku yang maladaptif itu. Penghapusan dalam kasus
semacam ini boleh jadi berlangsung lambat karena tingkah laku yang akan dihapus
telah dipelihara oleh perkuatan intermiten dalam jangka waktu lama. Wolpe
(1969) menekankan bahwa penghentian pemberian perkuatan harus serentak dan
penuh. Misalnya, jika seorang anak menunjukkan kebandelan di rumah dan di
sekolah, orang tua dan guru si anak bisa menghindari pemberian perhatian
sebagai cara untuk menghapus kebandelan anak tersebut. Pada saat yang sama
perkuatan positif bisa diberikan kepada si anak agar belaj.u tingkah laku yang
diinginkan.
Modeling, metodenya dengan
mengamati seorang kemudian mencontohkan tingkah laku sang model.
Bandura(1969), menyatakan bahwa belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman
langsung, bisa juga diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati tingkah
laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Jadi, kecakapan-kecakapan
sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku
model-model yang ada. Juga reaksi-reaksi emosional yang terganggu yang dimiliki
seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yang
mendekati objek-objek atau situasi-situasi yang ditakuti tanpa mengalami
akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya. Pengendalian
diri pun bisa dipelajari melalui pengamatan atas model yang dikenai hukuman.
Status dan kehormatan model amat berarti dan orang-orang pada umumnya
dipengaruhi oleh tingkah laku model-model yang menempati status yang tinggi dan
terhormat di mata mereka sebagai pengamat.
Token Ekonomi, metode token
economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuan dan
pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh.
Dalam token economy, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan
perkuatan-perkuatan yang bisa diraba (tanda-tanda seperti kepingan logam) yang
nantinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diingini.
Metode taken economy sangat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata,
misalnya, para pekerja dibayar untuk hasil pekerjaan mereka.
Hasil Terapi Perilaku
Terapi perilaku telah berhasil
dalam berbagai gangguan dan mudah diajarkan. Cara ini memakan waktu yang lebih
sedikit dibandingkan terapi lain dan lebih murah digunakan. Keterbatasan metode
adalah bahwa cara ini berguna untuk gejala perilaku yang terbatas, bukannya
disfungsi global (sebagai contohnya, konflik neurotic, gangguan kepribadian).
Ahli teori yang berorientasi analitik telah mengkritik terapi perilaku dengan
mengatakan bahwa menghilangkan gejala sederhana dapat menyebabkan gejala
pengganti. Dengan kata lain, jika gejala tidak dipandang sebagai akibat dari
konflik dalam diri ( inner conflict ) dan jika penyebb inti dari gejala tidak
di jawab atau di ubah, hasilnya adalah timbulnya gejala baru. Satu interpretasi
terapi perilaku dicontohkan oleh pernyataan controversial dari Eysenck: “ teori
belajar tentang gejala neurotic adalah semata – mata kebiasaan yang dipelajari;
tidak terdapat neurosis yang mendasari gejala, tetapi semata- mata gejala itu
sendiri. Sembuhkan gejalanya dan anda telah menghilangkan neurosis.” Beberapa
ahli terapi percaya bahwa terapi perilaku adalah pendekatan yang terlalu
disederhanakan kepada psikopatologi dan interaksi kompleks antara ahli terapi
dan pasien. Substitusi gejala mungkin tidak dapat dihindari, tetapi
kemungkinannya adalah suatu pertimbangan penting dalam menilai kemanjuran
terapi perilaku.
Seperti pada bentuk terapi
lainnya, suatu pemeriksaan masalah, motivasi dan kekuatan psikologis pasien
harus dilakukan sebelum menerapkan pendekatan terapi perilaku.
sumber:
Gerald Corey, Konseling dan
Psikoterapi, Refika Aditama, 2009, Bandung
Michel Hersen, Encyclopedia of
Psychotherapy, Pacific University, Forest Grove, Oregon. AP.
Windy Dryden, Developments
in Psychotherapy, SAGE Publications Ltd, 2006, London.
John and Rita Sommers,
Counseling and Psychotherapy theories in context and practice, John Wiley
& Sons, Inc, 2004, New Jersey.
Monday, April 29, 2013
Rational Emotive Therapy
Pengertian Rational Emotive
Therapy (RET),yakni corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi
antara berpikir dan akal sehat(rational thinking), berperasaan(emoting), dan
berperilaku(acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang
mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam
cara berperasaan dan berperilaku. Maka, orang yang mengalami gangguan dalam
alam perasaannya, harus dibantu untuk meninjau kembali caranya berpikir dan
memanfaatkan akal sehat.
Rational Emotive Therapy atau
Teori Rasional Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh
Alberl Ellis, seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga
seorang eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian. Teori ini dikembangkanya
ketika ia dalam praktek terapi mendapatkan bahwa sistem psikoanalisis ini
mempunyai kelemahan-kelemahan secara teoritis (Ellis, 1974).
Teori Rasional Emotif ini merupakan sintesis baru dari Behavior Therapy yang
klasik (termasuk Skinnerian Reinforcement dan Wolpein Systematic
Desensitization). Oleh karena itu Ellis menyebut terapi ini sebagai Cognitive
Behavior Therapy atau Comprehensive Therapy.
Konsep ini merupakan sebuah aliran baru dari Psikoterapi Humanistik yang
berakar pada filsafat eksistensialisme yang dipelopori oleh Kierkegaard,
Nietzsche, Buber, Heidegger, Jaspers dan Marleu Ponty, yang kemudian
dilanjutkan dalam bentuk eksistensialisme terapan dalam Psikologi dan
Psikoterapi, yang lebih dikenal sebagai Psikologi Humanistik.
Konsep-Konsep Dasar Rational
Emotive Therapy
Rational Emotive Therapy adalah
aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan
potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional
dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri,
berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain,
serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki
kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran,
berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan,
takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari
pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Tujuan Rational Emotive Therapy
1. Memperbaiki
dan mengubah segala perilaku yang irasional dan tidak logis menjadi rasional
dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.
2. Menghilangkan
gangguan emosional yang merusak
3. Untuk
membangun Self Interest, Self Direction, Tolerance, Acceptance of Uncertainty,
Fleksibel, Commitment, Scientific Thinking, Risk Taking, dan Self Acceptance
Klien.
4. Menunjukkan
dan menyadarkan klien bahwa cara pikir yang tidak logis itulah penyebab
gangguan emosionalnya.
Teori A-B-C tentang Kepibadian
A. Adalah activating
experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu
B. Adalah beliefs,
yaitu keyakinan-keyakinan
C. Adalah consequence,
yaitu konsekuensi-konsekuensi
Teknik-Teknik Kognitif
a. Teknik
Pengajaran
b. Teknik
Persuasif.
c. Teknik
Konfrontasi
d. Teknik
Pemberian Tugas
Teknik-Teknik Emotif
a. Teknik
Sosiodrama
b. Teknik
'Self Modelling'
c. Teknik
'Assertive Training'
Teknik-Teknik Behavioristik
a. Teknik
Reinforcement
b. Teknik
Social Modelling
Kebaikan dan Kelemahan Rational
Emotive Therapy
Kebaikan
1) Pendekatan
ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan itu perawatan
juga dapat dilakukan dengan cepat.
2) Kaedah
pemikiran logik yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi
gejala yang lain.
3) Klien
merasakan diri mereka mempunyai keupayaan intelektual dan kemajuan dari cara
berfikir.
Kelemahan
1) Ada
klien yang boleh ditolong melalui analisa logik dan falsafah, tetapi ada pula
yang tidak begitu sulit otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang
berasaskan kepada logika.
2) Ada
setengah klien yang begitu terpisah dari realita sehingga usaha untuk
membawanya ke alam nyata sukar sekali dicapai.
3) Ada
juga klien yang terlalu berprasangka terhadap logik, sehingga sukar untuk
mereka menerima analisa logik.
Langkah-Langkah Rational Emotive
Therapy (RET)
1) Langkah pertama
Konselor berusaha menunjukkan bahwa cara berfikir klien harus logis kemudian
membantu bagaimana dan mengapa klien sampai pada cara seperti itu, menunjukkan
pola hubungan antara pikiran logis dan perasaan yang tidak bahagia atau dengan
gangguan emosi yang di alami nya.
2) Langkah kedua
Menunjukkan kepada klien bahwa jika ia mempertahankan perilakunya maka ia
akan terganggu dengan cara berpikirnya yang tidak logis inilah yang menyebabkan
masih adanya gangguan sebagaimana yang di rasakan.
3) Langkah ketiga
Bertujuan mengubah cara berfikir klien dengan membuang cara berfikir yang tidak
logis
4) Langkah keempat
Dalam hal ini konselor menugaskan klien untuk mencoba melakukan tindakan
tertentu dalam situasi nyata.
sumber:
Corey Gerald, Teori dan
Paktek Konseling & Psikoterapi, PT Refika Aditama : Bandung, 2007
Drs. Abdul hayat, M.Pd, Teori
dan Teknik Pendekatan Konseling, Banjarmasin, lanting media aksara:2010
Drs. Dewa ketut Sukardi,
Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta:PT Aneka Cipta,1990
Prof.Dr.Sofyan S Willis, Konseling
Individual Teori dan Praktek, Bandung, Alfabeta: 2007
Singgah D. Gunarsah, konseling
dan psikoterapi, Jakarta :Gunung Mulia, 2000
Sukardi Dewa Ketut. Pengantar
Teori Konseling, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1985
W.S.Winkel, dan M.M.Sri Hastuti, Bimbingan
dan Konseling, Yogyakarta,Media Abadi:2006
Monday, April 22, 2013
Analisis Transaktional
Tiap-tiap kolom status
ego akan bertambah naik bila secara intuitif seseorang merasakan bahwa status
ego tersebut semakin bertambah kuat dalam dirinya. Analisis transaksional dalam
penerapannya berupaya membangun pengetahuan setiap individu untuk mengenal saat
mana pikiran, perasaan dan tingkahlaku mereka menggambarkan status ego
tertentu, disamping memberikan kesadaran mengenai apakah ada status ego
tertentu yang mendominasi atau yang perlu dioptimalkan. b. Strokes Sebuah
premis dasar dari pendekatan analisis transaksional adalah bahwa manusia
membutuhkan pengakuan baik secara fisik maupun psikologis untuk mengembangkan
rasa percaya diri dan sebagai dasar untuk mencintai diri sendiri serta orang
lain. Ada banyak bukti bahwa kurangnya kontak fisik dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan bayi, dan dalam kasus ekstrim dapat menyebabkan
kematian (Berne, 1961; Corey, 2005; Joines, 2005). Individu dalam tumbuh
kembangnya membutuhkan pengakuan dan perhatian, ini disebut sebagai Stroke.
Stroke adalah setiap tindakan pengakuan atau yang menjadi sumber rangsangan
yang diberikan atau ditawarkan seseorang kepada orang lain. Jenis-jenis Stroke
dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Verbal atau nonverbal, jenis
Stroke ini menggambarkan adanya pertukaran perhatian dalam bentuk kata-kata
maupun dalam bentuk gerakan. Macam-macam bentuk perhatian verbal
misalnya : ungkapan memuji, melecehkan, menghargai, ataupun mengkritik;
bentuk perhatian non-verbal misalnya: berjabat tangan, pelukan, sentuhan,
kedipan mata ataupun ekspresi senyuman atau cara berpenampilan. Kadang-kadang
sulit membedakan antara Stroke verbal dan non-verbal. 2) Tanpa syarat atau
bersyarat. Contoh Stroke bersyarat seperti : "Aku menyukai dirimu
asalkan..." sedangkan Stroke tanpa syarat: "Aku mencintaimu karena
aku sayang kamu." 3) Stroke positif atau negatif. Sebuah bentuk perhatian
yang menyenangkan yang diberikan atau diterima seseorang seperti :
sentuhan fisik, kata-kata menerima, penghargaan, senyum, dan keramahan disebut
stroke positif. Sebaliknya bila yang diterima menyakitkan seperti: diabaikan,
dikritik ataupun dilecehkan maka disebut stroke negatif. Menariknya stroke
negatif dianggap lebih baik daripada tidak mendapatkan stroke sama sekali
(Covey, 2005). c. Analisis Transaksi Setiap apa yang dipertukarkan atau
diekspresikan oleh masing-masing individu dalam berinteraksi disebut Transaksi
(Berne, 1961; Stewart, 1996; Covey, 2005; Joines, 2005). Transaksi dapat
terjadi secara verbal (transaksi sosial) dan non-verbal (transaksi psikologik)
yang terjadi dalam transaksi terselubung. Terdapat tiga bentuk transaksi dalam
kaitannya dengan interaksi yang terjadi antara dua individu (Berne, 1961),
yaitu : transaksi sejajar (saling mengisi), transaksi silang dan transaksi
terselubung. 1) Transaksi sejajar (Complimenter Transaction). Transaksi ini
dapat terjadi jika diantara stimulus dan respon mengalami kesesuaian atau
kecocokan, tepat dan memang diharapkan, sehingga transaksi ini akan berjalan
lancar. Misalnya, pembicaraan antara dua individu yang sama-sama menggunakan
status ego Orangtua, Dewasa atau Anak. Misalnya: “Wah, sekarang untuk masuk
sekolah sulitnya bukan main?” (Parent ke Parent). “Betul, saya kemarin beli
formulirnya saja sudah susah!” (Parent ke Parent). “Apakah laporan itu telah
selesai dibuat?” (Adult ke Adult). “Ya, nanti akan saya kirimkan ke anda lewat
email.” (Adult ke Adult). “Maukah kamu kesini nonton film bersamaku?” (Child ke
Child). “Pasti mau – apakah aku harus kesana sekarang?” (Child ke Child) 2)
Transaksi silang (Crossed Transaction). Transaksi ini terjadi jika diantara
stimulus dan respon tidak cocok atau berlangsung tidak sebagaimana yang
diharapkan oleh salah satu pihak atau bahkan keduanya. Biasanya komunikasi
semacam ini akan cenderung terganggu atau tidak OK. Misalnya : “Waduh,
badanku kok terasa nggak enak ya?” (Adult ke adult). “Makanya jangan ambisius
dan ngoyo cari uang!” (Parent ke Child). 3) Transaksi tersembunyi (Ulteration
Transaction). Transaksi ini terjadi jika antara dua status ego beroperasi
bersama-sama, meliputi transaksi Dewasa diarahkan ke Dewasa, akan tetapi
melalui pesan tersembunyi dari yang sebenarnya; misalnya Dewasa ke Anak, atau
Orangtua ke Anak. Misalnya : “Aduh bu, anak saya yang di TK sekarang
ngambek!” (Parent ke Parent). “Biasa, namanya saja anak yang gede sering
malas.” (Adult ke Child) Bentuk-bentuk transaksi tersebut akan menjadi pilihan
setiap individu dalam mengadakan interaksi-komunikasi dengan individu lain dan
konsekuensi dari bentuk-bentuk transaksi akan tergambar seperti (Berne, 1961):
(1) jika model transaksi yang digunakan lebih banyak bersifat complementer,
maka akan sering timbul masalah, yaitu kebosanan; (2) jika individu dalam
berkomunikasi lebih banyak menggunakan transaksi silang, maka akan cenderung
timbul perasaan tidak senang karena respon yang didapat tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan. Akan tetapi transaksi ini dapat digunakan untuk mengalihkan
atau menghentikan pembicaraan yang tidak bermutu atau yang bertele-tele; (3)
interaksi terselubung jauh lebih rumit jika digunakan, karena menggunakan lebih
dari satu bentuk status ego. Ciri lainnya dalam interaksi ini adalah sering
menggunakan bahasa tersirat (ironi) dan biasanya menggunakan transaksi
non-verbal, misalnya gerakan badan, ekspresi wajah dan sikap. d. Keputusan
(Decision) dan Keputusan Ulang (Redecisions) Analisis transaksional menekankan
kemampuan individu untuk menyadari keputusan yang mengatur perilakunya dan
kemampuan untuk mengambil inisiatif mengubah kembali arah hidupnya menjadi
lebih efektif melalui keputusan baru. Uraian ini membahas keputusan yang dibuat
sebagai respons terhadap perintah Orangtua dan kontra-perintah yang merupakan
penjelasan awal dari proses redecisional. Goulding (Covey, 2005) menyusun
daftar perintah umum yang sering dilakukan para Orangtua terhadap anak-anak
mereka dengan kemungkinan penyusunan keputusan kembali sebagai bentuk tanggapan
anak terhadap orangtua. 1) “Jangan melakukan kesalahan.” Anak-anak yang
mendengar dan menerima pesan ini sering takut mengambil risiko yang dapat
membuat mereka terlihat bodoh. Mereka cenderung menyamakan kesalahan dengan
kegagalan. Kemungkinan keputusan: “Daripada membuat keputusan tetapi salah,
lebih baik jangan pernah memutuskan sesuatu.” Anak akan cenderung memilih untuk
berpikir, bahwa membuat keputusan adalah bodoh karena tetap saja salah dan
tidak pernah akan dinilai sempurna. Dengan tidak membuat keputusan, maka masih
terdapat kesempatan untuk menjadi sempurna karena tidak melakukan kesalahan. 2)
“Jangan!” Pesan mematikan ini sering diberikan dalam bentuk non-verbal oleh
orangtua secara terus menerus kepada anaknya. Pesan dasar "Aku berharap
kau tidak dilahirkan." Kemungkinan keputusan: "Aku akan terus mencoba
sampai aku mendapatkan kau mencintaiku." 3) “Jangan menjadi akrab.”
Terkait dengan perintah ini adalah pesan "Jangan percaya" dan
"Jangan pernah menyintai." Kemungkinan keputusan: "Cukup sekali
aku dicintai, begitu menyakitkan dan aku berjanji untuk tidak lagi mengenal
perasaan dan kata cinta.” "Pedih bila membayangkan untuk dekat lagi dengan
seseorang, biarkan aku sendiri untuk selamanya,” 4) “Jangan merasa penting.”
Jika ungkapan atau pembicaraan seorang anak diabaikan atau tidak pernah
diperhatikan, akan menumbuhkan perasaan bahwa apa yang dimilikinya tidak pernah
akan dianggap penting dan berguna bagi orang lain. Kemungkinan keputusan:
"Apapun prestasi yang aku lakukan itu tidak penting.” “Keberhasilan yang
aku lakukan ini, itu hanyalah kebetulan saja.” 5) “Jangan seperti anak-anak.”
Pesan ini bermaksud menyampaikan: "Selalu bertindak dewasa!"
"Jangan kekanak-kanakan." "Tetaplah kontrol diri."
Kemungkinan keputusan: "Aku akan mengurus orang lain dan tidak akan
berharap banyak dari diriku sendiri." "Aku tidak akan membiarkan
diriku bersenang-senang. 6) Jangan berkembang. Pesan ini disampaikan
berdasarkan ketakutan yang dirasakan orangtua dan tidak ingin anaknya tumbuh
dewasa dengan cara lain yang tidak diinginkannya. Kemungkinan keputusan:
"Aku akan tetap mempertahankan ciri selaku seorang anak, dengan begitu aku
akan tetap mendapatkan belaian dan persetujuan Orangtua." 7) “Jangan
berhasil.” Jika anak-anak secara positif diperkuat untuk gagal, mereka dapat
menerima pesan bukan untuk mencari kesuksesan. Kemungkinan keputusan: "Aku
tidak akan pernah melakukan apa pun yang cukup sempurna, jadi kenapa harus
mencoba?". "Kalaupun aku tidak berhasil, aku masih tetap mendapatkan
perhatian karena akan terus dibimbing dan diarahkan,” akibatnya akan berlanjut
pada ketakutan untuk memutuskan sesuatu karena takut salah dan gagal serta
tidak lagi akan diperhatikan oleh orang lain. 8) “Jangan menjadi dirimu.” Ini
menyarankan untuk mengarahkan anak berpikir bahwa mereka tidak sebagaimana yang
diharapkan. Ungkapan ini disampaikan orangtua karena alasan-alasan bahwa anak
yang diimpikan berbeda dengan yang ada saat ini, baik berupa jenis kelamin,
bentuk, ukuran, warna kulit, ciri-ciri inteligensi dan sebagainya. Kemungkinan
keputusan: "Mereka akan mencintai aku hanya jika aku seorang anak
laki-laki atau perempuan sesuai harapan mereka, sehingga tidak mungkin untuk
mendapatkan cinta mereka." "Aku akan berpura-pura menjadi anak
laki-laki atau perempuan agar sesuai dengan harapan mereka. 9) “Jangan waras
atau Jangan terlihat sehat.” Sebagian anak-anak mendapat perhatian hanya ketika
mereka secara fisik labil, sakit atau menunjukan perilaku yang tidak biasanya.
Kemungkinan keputusan: "Aku akan sakit, atau berperilaku seperti tidak
biasanya. Dengan begitu aku akan tetap mendapatkan kasih sayang orangtua."
10) “Jangan merasa memiliki.” Perintah ini dapat menunjukkan bahwa orangtua
menganggap anak tidak punya hak untuk merasa memiliki. Kemungkinan keputusan:
"Aku akan menjadi seorang penyendiri selamanya." "Aku tidak akan
pernah punya tempat." Apa pun perintah yang pernah diterima dan menghasilkan
keputusan hidup tetapi berakibat tidak efektif dengan kenyataan hidup yang
dialami, dalam pandangan analisis transaksional harus di rubah dan diputuskan
kembali. Inilah dasar redecisional atau mengubah setiap keputusan yang pernah
dibuat. Klien didorong untuk mempelajari kembali apa yang telah dipelajarinya
ketika masa kanak-kanak dahulu. e. Posisi Hidup (Life Position) dan Latar
Kehidupan (Life Scripts) Analisis transaksional menurut Berne (Boholst, 2002)
terdiri dari empat dasar posisi kehidupan, yang semuanya didasarkan pada
keputusan yang dibuat sebagai akibat dari pengalaman masa kanak-kanak, dan yang
menentukan bagaimana orang-orang berpikir dan merasa mengenai diri mereka serta
bagaimana mereka membangun hubungan dengan orang lain: 1) Aku OK - Kamu OK (I’m
OK – Your OK) Posisi ini merefleksikan bahwa individu mempunyai kepercayaan
terhadap diri sendiri dan percaya pada orang lain. Individu tidak merasa
khawatir bila berhubungan dengan orang lain. 2) Aku OK – Kamu Tidak OK (I’m OK
– You’re not OK) Posisi ini merefleksikan bahwa individu membutuhkan orang lain
akan tetapi tidak ada yang dianggap cocok, individu merasa superior, merasa
mempunyai hak untuk memanipulasi orang lain demi kepentingannya sendiri. 3) Aku
tidak OK – Kamu OK (I’m not OK – You’re OK) Posisi ini merefleksikan bahwa
individu merasa tidak terpenuhi kebutuhannya dan merasa bersalah. Posisi ini
sering membuat seseorang mengalami keadaan depresif karena perasaan bersalah,
inferior, tidakpercaya dengan kemampuan yang dimiliki hingga memunculkan
ketakutan dan cemas. 4) Aku tidak OK – Kamu Tidak OK (I’m not OK – You’re not
OK) Posisi ini merefleksikan bahwa dirinya merasa lemah tidak baik dan orang
lain pun juga tidak baik, karena tidak ada sumber belaian atau perhatian yang
positif, individu akan menyerah dan merasa tidak berdaya. Script dibentuk oleh
aturan, arahan dan perintah yang diterima individu dimasa lalu yang dilakukan
oleh orangtua atau figur orangtua individu. Unsur-unsur dalam script akan
memberi pengaruh pada cara individu menghayati kehidupannya (Boholst, 2002). f.
Games Serangkaian peristiwa transaksi dan Stroke yang bermasalah dan terjadi
secara berulang namun tidak pernah disadari, maka akan berdampak buruk serta
mempengaruhi kehidupan seseorang (Berne dalam Spanceley, 2007).
Pengalaman-pengalaman inilah yang akan menjadi target game, dimana individu
akan diarahkan untuk terlibat dalam sebuah drama menghayati perjalanan
kehidupannya. Dengan kata lain, game merupakan sarana menyadarkan individu dari
agenda-agenda tersembunyi yang selama ini membatasi kehidupannya. Sebuah game
menurut Berne (1964) akan terdiri atas tiga posisi: 1) Penganiaya (Persecutor).
Ciri-ciri seseorang dengan pola penganiaya adalah: terlalu ketat membatasi diri
pada hal-hal yang tidak perlu, suka mengritik, sering mengecilkan kapasitas
orang lain, selalu bersikap kaku, berpegang teguh pada kewibawaan diri,
menyuruh dan marah, dan merupakan pola yang sering tergambar pada status ego
orang tua pengkritik. 2) Penyelamat (Rescuer). Ciri-ciri seseorang dengan pola
penyelamat adalah: suka membantu dan menolong sekalipun terpaksa, akan merasa
bersalah jika tidak berusaha membantu dan menolong, cenderung bersifat
tergantung pada orang lain, permissive, terlalu bersikap lembut, dan merupakan
pola yang sering tergambar pada status ego orang tua pembimbing. 3) Korban
(Victim). Ciri-ciri seseorang dengan pola korban adalah: merasa menjadi korban
dalam setiap peristiwa, merasa tertindas, tak berdaya, putus asa, dan merasa
sulit untuk terbebas dari setiap tekanan, ketegasan diri kurang, merasa tidak
mampu membuat keputusan, kesulitan mencapai kesenangan subyektif dan pemahaman
diri kurang, serta merasa sering ditolak. Game merupakan sarana menilai ciri
kepribadian individu. Sarana ini kemudian akan membantu menyadari karakteristik
yang mempengaruhinya ketika mengalami hambatan- hambatan psikologis.
Hambatan-hambatan psikologi ini merupakan akumulasi dari pengalaman script,
decisional serta kecenderungan secara kaku menggunakan status ego tertentu.
sunber:
Tuesday, April 16, 2013
Logoterapi (sebuah Pendekatan Eksistensialis)
Bagian I.
Di Wina Austria, Victor Emil
Frankl dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1905 dari keluarga Yahudi yang
sangat kuat memegang tradisi, nilai-nilai dan kepercayaan Yudaisme. Hal ini
berpengaruh kuat atas diri Frankl yang ditunjukkan oleh minat yang besar pada
persoalan spiritual, khususnya persoalan mengenai makna hidup. Di tengah
suasana yang religius itulah Frankl menjalani sebagian besar hidupnya.
Dalam bagian pertama buku “Man’s
Seach for Meaning” (Frankl, 1963), mengisahkan penderitaan Frankl selama
menjadi tawanan Yahudi di Auschwitz dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya.
Kehidupannya selama tiga tahun di kamp konsentrasi adalah kehidupan yang
mengerikan se cara kejam. Setiap hari, ia menyaksikan tindakan-tindakan kejam,
penyiksaan, penembakan, pembunuhan masal di kamar gas atau eksekusi dengan
aliran listrik. Pada saat yang sama, ia juga melihat peristiwa-peristiwa yang
sangat mengharukan; berkorban untuk rekan,kesabaran yang luar biasa, dan daya
hidup yang perkasa. Di samping para tahanan yang berputus asa yang mengeluh, “mengapa
semua ini terjadi pada kita? “, mengapa aku harus menanggung derita ini?”, ada
juga para tahanan yang berpikir “apa yang harus kulakukan dalam keadaan
seperti ini?”. Yang pertama umumnya berakhir dengan kematian, dan yang kedua
banyak yang lolos dari lubang jarum kematian.
Menurut Jalaluddin Rakhmat
(Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), hal yang membedakan
keduanya adalah pemberian makna. Pada manusia ada kebebasan yang tidak bisa
dihancurkan bahkan oleh pagar kawat berduri sekalipun. Itu adalah kebebasan
untuk memilih makna. Sambil mengambil pemikiran Freud tentang efek berbahaya
dari represi dan analisis mimpinya, Frankl menentang Freud ketika dia menganggap
dimensi spiritual manusia sebagai sublimasi insting hewani. Dengan landasan
fenomenologi, Frankl membantah dan menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak
hanya diakibatkan oleh proses psikis saja. Menurutnya, pemberian makna berada
di luar semua proses psikologis. Dia mengembangkan teknik psikoterapi yang
disebut dengan Logoterapi (berasal dari kata Yunani “Logos” yang
berarti “makna”).
Logoterapi memandang manusia
sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis,
spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan
ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada
gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan fisik dan psikilogis.
Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai
sumber kesehatan dan kebahagiaan(Jalaluddin Rahmat, 2004).
Frankl menyebut dimensi spiritual
sebagai “noos” yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti
keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-orientasi tujuan kita,
kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan
menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang fisik
psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali superego,
secara humor kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasa diri kita atau
kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi
diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan
yang kita yakini. Dalam dunia spiritual, kita tidak dipandu, kita adalah
pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar kita.
Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan
spiritual ini.
Bagian II.
Dalam hidup ini ada beberapa
ancaman sebagai penyebab “kecemasan eksistensial”, hal ini merupakan aspek
terpenting yang menentukan apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan,
adalah “pertama” kematian: kita semua adalah makhluk yang fana’,
kematian sewaktu-waktu akan datang menjemput kita. “Kedua”, takdir, garis
kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bias
diramalkan atau dikendalikan. */Ketiga/*, keharusan untuk membuat pilihan
mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga cara; a).
kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa informasi yang cukup,
b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung untuk mencari bimbingan dari
sumber transcendental yang lebih tinggi, c). menjatuhkan pilihan berarti
mengabaikan pilihan lainnya (Zainal Abidin, 2002).
Gambaran tentang adanya kecemasan
eksistensial ini dapat kita jumpai misalnya yang terjadi di kalangan mahasiswa,
tampak kecenderungannya untuk hidup demi kepuasan sesaat, penggunaan Narkotika,
hidup hura-hura, berpesta pora, pergaulan bebas, sampai seks bebas, kegairahan
yang besar terhadap unsur-unsur fisik (hedonisme) merupakan bukti adanya krisis
kebermaknaan hidup. Pemuasan pada kepuasan sementara hanya merupakan “penamba”
pada kekosongan dan kebosanan yang berakar dari ketiadaan makna? Untuk apa
mereka hidup?
Hilangnya makna, kehampaan
eksistensial yang lazim terjadi di zaman modern sekarang ini dalam buku “Man’s
seach for meaning” (Frankl, 1963) dijelaskan bahwa mereka tersebut tidak
sendirian menghadapi hidup yang tak bermakna, mereka pada dasarnya merupakan
bagian dari “invisible community” yang mengalami kehampaan serupa.
Frankl memberi pesan bahwa kita harus memiliki keberanian dan kesabaran. Yakni
keberanian untuk membiarkan masalah ini untuk sementara waktu tak terpecahkan,
dan kesabaran untuk tidak menyerah dan mengupayakan penyelesaian.
Inti ajaran Frankl adalah
pandangan bahwa menjalani hidup dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu.
Motivasi utama dari manusia adalah untuk menemukan tujuan itu, itulah makna
hidup. Pencarian makna yang kita lakukan merupakan fenomena kompleks yang
membutuhkan penggalian, dan untuk memahaminya kita harus “menjalaninya”.
Tentang “makna” menurut Zainal Abidin (2002), ada dua hal yang perlu
diperhatikan;
Pertama, makna tidak sama dengan
aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah suatu proses yang menjadikan kita
seperti adanya kita, dimana kita mengembangkan dan menyadari cetak biru (blue-print)
dari potensi dan bakat kita sendiri. Namun, meski seseorang sanggup sepenuhnya
mengembangkan potensinya, belum tentu ia telah memenuhi makan hidupnya. Makna
tidak terletak pada diri kita, melainkan terletak di dunia luar. Kita tidak
menciptakan makna, atau memilihnya, melainkan harus menemukannya. Dengan kata
lain, untuk dapat menemukan makna kita harus ke luar dari persembunyian dan
menyongsong tantangan di luar sana yang memang ditujukan kepada kita.
Tujuan/makna adalah sesuatu yang “transcendental”, sesuatu yang berada di
luar “pemiliknya” (Frankl, 1963). Maka ketika seseorang mencari bimbingan untuk
menjatuhkan pilihanya, tidak akan ia menjumpai kekosongan, tetapi ia menemukan
makna hidupnya pada sesuatu di luar atau di atas dirinya. Hidup tidaklah semata
mengarahkan diri pada realisasi diri ataupun sesuatu dalam diri kita, melainkan
mengarahkan diri pada makna yang harus kita penuhi. Dengan begitu “kefanaan” menjadi
kurang menakutkan. Maknalah yang memelihara hidup kita. “Melekatkan diri pada
sesuatu yang melebihi usia hidup memberi manusia suatu keabadian”
Keterasingan dari dunia, lantaran
cara hidup serba mekanis, menjadi berkurang ketika kita tahu bahwa kita berada
di dunia untuk suatu tanggung jawab yang mesti dipenuhi. Manusia mampu bertahan
hidup di gurun yang sangat tandus, jika gurun tersebut menawarkan suatu tugas
yang harus dipenuhi. Sebaliknya ada orang yang mati bunuh diri minum racun di
istana mewah karena tidak tahu untuk apa dia hidup.
Kedua, hidup setiap orang
memiliki makna yang unik, setiap orang memiliki peran unik yang harus dipenuhi
atau diperankan, suatu peran yang tak dapat digantikan oleh orang lain. Setiap
orang lahir ke dunia ini mewakili sesuatu yang baru, yang itu tidak ada
sebelumnya. Sesuatu yang original dan unik. Tugas setiap orang adalah untuk
memahami bahwa tidak pernah ada seorang pun serupa dirinya, karena jika memang
pernah ada seseorang yang serupa dengan dirinya, maka ia tidak diperlukan.
Setiap orang adalah sesuatu yang baru, dan harus memenuhi suatu tugas dan
panggilan mengapa ia diciptakan di dunia ini (Buber dalam Zainal Abidin, 2002).
Bagian III.
Menurut Jalaluddin Rakhmat
(Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), ada lima situasi ketika
makna membersit ke luar dan mengubah jalan hidup kita -menyusun kembali hidup
kita yang porak poranda-, yaitu:
1. Makna kita temukan ketika kita
menemukan diri kita (self discovery)
2. Makna muncul ketika kita
menentukan pilihan, hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam suatu
keadaan, ketika kita tidak dapat memilih
3. Makna dapat kita temukan
ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain
4. Makna membersit dalam tanggung
jawab
5. Makna mencuat dalam situasi
transendensi, gadungan dari keempat hal di atas, ketika mentransendensikan diri
kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita
merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita.
Transendensi adalah pengalaman
yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar dari pengalaman kita yang biasa,
ke luar dari suka dan duka kita, ke luar dari diri kita yang sekarang, ke
konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi adalah pengalaman spiritual.
Kita dihadapkan pada makna akhir “the ultimate meaning” yang
menyadarkan kita akan “aturan Agung” yang mengatur alam semesta. Kita
menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti
rancangan besar “grand design” yang ditampakkan kepada kita. Inilah
dimensi spiritual dari ajaran logoterapi Victor E. Frankl. Hanna Djumhana
Bastaman (1994), menyimpulkan tentang logoterapi berpandangan bahwa
manusia dengan kesadaran dirinya mampu melepaskan diri dari ancaman-ancaman
pengaruh lingkungan dan berbagai bentuk kecenderungan alami ke arah suatu
keadaan atau perkembangan tertentu dalam dirinya sendiri. Dengan logoterapi
kita dapat menemukan hasrat hidup bermakna “the will to meaning” sebagai
motif dasar manusia, yang berlawanan dengan hasrat hidup senang (the will to
pleasure dari Freud, dan hasrat hidup berkuasa the will to power-nya
Alfred Adler. Dalam pandangan logoterapi the will to pleasure merupakan
hasil (by product) dan the will to power merupakan sarana untuk
memenuhi the will to meaning.
Menurut ajaran logoterapi, bahwa
kehidupan ini mempunyai makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk
dalam penderitaaan sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama
dalam kehidupan ini, Manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna
hidup, yakni melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan
dihayati -termasuk cinta kasih-, atau dalam setiap sikap yang diambil terhadap
keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin terelakkan. Manusia dihadapkan dan
diorientasikan kembali kepada makna, tujuan dan kewajiban hidupnya. Kehidupan
tidak selalu memberikan kesenangan kepada kita, tetapi senantiasa menawarkan
makna yang harus kita jawab. Tujuan hidup buka nlah untuk mencapai keseimbangan
tanpa tegangan, melainkan sering dalam kondisi tegangan antara apa yang kita
hayati saat ini dengan prospek kita di masa depan. Logoterapi memperteguh daya
tahan psikis kita untuk menghadapi berbagai kerawanan hidup yang kita alami.
Dalam prakteknya logoterapi dapat mengatasi kasus fobia dengan menggunakan
teknik “paradoxical intention”, yaitu mengusahakan agar orang mengubah
sikap dari yang semula memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self detachment)
terhadap keluhan sendiri, kemudian memandangnya secara humoritas. Logoterapi
juga dapat diterapkan pada kasus-kasus frustasi eksistensial, kepapaan hidup,
kehampaan hidup, tujuannya adalah membantu kita untuk menyadari adanya daya
spiritual Yang terdapat pada setiap orang, agar terungkap nyata (actual) yang
semula biasanya ditekan (repressed), terhambat (frustasi) dan diingkari. Energi
spiritual tersebut perlu dibangkitkan agar tetap teguh menghadapi setiap
kemalangan dan derita.
Dalam kehidupan, mungkin hasrat
hidup bermakna sebagai motif utama tidak dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan
orang melihat, bahwa dalam kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang
sifatnya potensial, yang perlu disadari dan ditemukan, keadaan ini menimbulkan
semacamfrustasi yang disebut frustasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi
oleh penghayatan tanpa makna (meaningless). Gejala-gejalanya sering tidak
terungkapkan secara nyata, karena biasanya bersifat “latent” dan terselubung.
Perilaku yang biasanya merupakan selubung frustrasi eksistensial itu sering
tampak pada berbagai usaha kompensasi dan hasrat yang berlebihan untuk
berkuasa, atau bersenang-senang, mencari kenikmatan duniawiyah (materialisme).
Gejala ini biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan
uang, manic-bekerja (wokerholic), free sex, dan perilaku hedonisme
lainnya.
Frustrasi eksistensial akan
terungkap secara eksplisit dalam penghayatan kebosanan dan sifat apatis.
Kebosanan merupakan ketidakmampuan sesorang untuk membangkitkan minat,
sedangkan apatisme merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa (inisiatif).
frustrasi eksistensial adalah identik dengam kehampaan eksistensial, dan
merupakan salah satu factor yang dapat menjelmakan neurosis. Neurosis ini
dinamakan “neurosis noogenik”, karena karakteristiknya berlainan dengan
neurosis yang klinis konvensional. Neurosis noogenik tidak timbul
sebagai akibat adanya konflik antara id, ego, superego, bukan konflik
insingtif, bukan karena berbagai dorongan impuls, trauma psikologis, melainkan
timbul sebagai akibat konflik moral, antar nilai-nilai, hati nurani, dan
problem moral etis, dan sebagainya (Bastaman, 1995).
Kehampaan eksistensial pada
umumnya ditunjukkan dengan perilaku yang serba bosan dan apatis, perasaan tanpa
makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup, meragukan kehidupan.
Logoterapi membantu pribadi untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dan
menyadarkan akan tanggung jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani,
keluarga, masyarakat, maupun kepada Tuhan. Tugas seorang logoterapis dalam hal
ini adalah sekedar membuka cakrawala pandangan klien dan menjajaki nilai-niliai
yang memungkinkan dapat diketemukan makna hidup, yaitu nilai-nilai kritis,
kreatif, dan sikap bertuhan. Dengan demikian logoterapi mencoba untuk menjawab
dan menyelesaikan berbagai problem, krisis, dan keluhan manusia masa kini, yang
initinya adalah seputar hasrat untuk hidup secara bermakna.
Dalam prakteknya, logoterapis
membantu klien agar lebih sehat secara emosional, dan salah satu cara untuk
mencapainya adalah memperkenalkan filsafat hidup yang lebih sehat, yaitu
mengajak untuk menemukan makna hidupnya. Menemukan makna hidup merupakan sesuatu
yang kompleks. Pada banyak kasus, logoterapis hanya dapat mengajak klien untuk
mulai menemukannya. Logoterapis harus menghindar untuk memaksakan suatu makna
tertentu pada klien, melainkan mempertajam kepada klien akan makna hidupnya.
Mungkin cara yang lebih baik yang dapat dilakukan seorang logoterapis guna
membantu klien agar mengenali apa yang ingin ia lakukan dalam hidup adalah
memperdulikan dan menciptakan atmosfir yang bersahabat, sehingga klien bebas
menjelajahi keunikan dirinya tanpa merasa takut ditolak. Sebagimana setiap
orang yang sedang jatuh cinta pada umumnya mampu secara intuitif mengenali
makna unik apa yang terdapat dalam hidup orang yang dicintainya.
Bagian IV.
Banyak orang menyatakan bahwa
logoterapi Victor E. Frankl sangat dekat dengan ajaran agama (spiritual), atau
juga bisa merupakan “agama sekuler“. Bagi Frankl makna hidup adalah daya yang
membimbing eksistensi manusia, sebagaimana para Nabi membimbing umatnya. Frankl
menggabungkan wawasan dari agama-agama dan filsafat-filsafat lama, serta mengaplikasikannya
dalam kehidupan pribadinya selama tiga tahun yang kelam di kamp konsentrasi
Nazi yang dituangkan dalam suatu teori psikoterapi, ajaran tersebut dinamakan
dengan logoterapi.
sumber:
Abidin, Zainal, */”Analisis
Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri”/*, Refika Aditama, Bandung, 2002.
Baharuddin, */”Paradigma
Psikologi Islami: Studi tentang
Elemen Psikologi dari Al-Qur’an”/*, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Bastaman, Hanna Djumhana,
“Dimensi Spiritual dalam Teori Psikologi Kontemporer: Logoterapi Victor E.
Frankl”, dalam */Jurnal Ulumul Qur’an/*, Nomer 4 Vol. V. Tahun 1994. halm
14-21.
Bastaman, Hanna Djumhana,
*/”Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami”/*, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Frankl, V.E., */”Man’s Seach for
Meaning: An Introduction to Logotherapy”/*, Washington Square Press, New York,
1963.
Fromm, Erich, */”Psikologi dan
Agama”/*, trj. Oleh Chairul Fuad Yusuf dan Prasetya Utama, Atira, Jakarta,
1988.
Koeswara, E., */”Logoterapi:
Psikoterapi Victor Frankl”/*, Kanisius, Yogyakarta, 1992
Rakhmat, Jalaluddin, Pengantar
dalam Danah Zohar & Ian Marshall, */”SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual
dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan”/*, Mizan,
Bandung, 2002.
Rakhmat, Jalaluddin, */”Psikologi
Agama: Sebuah Pengantar”/*, Mizan Bandung, 2004. Sukanto, Mm, Dardiri Hasyim,
*/”Nafsiologi: Refleksi
Analisis tentang Diri dan Tingkah
Laku Manusia”/*, Risalah Gusti, Surabaya, 1995.
Subscribe to:
Posts (Atom)